Sejarah Munculnya Ilmu Kalam
A. Akidah pada Masa Nabi Muhammad SAW
Masa Rasulullah
saw merupakan periode pembinaan aqidah dan peraturan-peraturan dengan prinsip
kesatuan umatdan kedaulatan Islam. Segala masalah yang kabur dikembalikan
langsung kepada Rasulullah saw sehingga berhasil menghilangkan perpecahan antara ummatnya. Masing-masing pihak tentu
mempertahankan kebenaran pendapatnya dengan dalil-dalil, sebagaimana telah
terjadi dlam agama-agama sebelum Islam. Rasulullah mengajak kaum muslimin untuk
mentaati Allah swt dan RasulNya serta menghindari dari perpecahan yang
menyebabkan timbulnya kelemahan dalam segala bidang sehingga menimbulkan
kekacauan. Allah swt berfirman dalam QS. al-Anfal ; 46, yang artinya: “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan
janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan
hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar”.
Dan QS.
Al-Maidah ; 15, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka
janganlah kamu membelakangi mereka (mundur)”.
Pengalaman
pahit orang Kristen menjadi bukti karena perpecahan membuat mereka hancur.
Mereka melupakan perjanjian Allah swt akan beriman teguh, sehingga Allah
menumbuhkan rasa permusuhan dalam dada mereka yang mengakibatkan timbulnya
golongan yang saling bertengkar dan bercerai berai seperti golongan Nasturiyah, Ya’kubiyah dan Mulkaniah.
Perbedaan
pendapat memang dibolehkan tetapi jangan sampai pada pertengkaran, terutama
dalam maslah aqidah ini. Demikian pula dalam menghadapi agama lain, kaum
muslimin harus bersikap tidak membenarkan apa yang mereka sampaikan dan tidak
pula mendustainya. Yang harus dikata kaum muslimin adalah telah beriman kepada Allah
dan wahyuNya, yang telah diturunkan kepada kaum muslimin juga kepada mereka.
Tuhan Islam dan Tuhan mereka adalah satu (Esa).
Bila terjadi
perdebatan haruslah dihadapi dengan nasihat dan peringatan. Berdebat dengan
cara baik dan dapat menghasilkan tujuan dari perdebatan, sehingga terhindar
dari pertengkaran. Allah swt berfirman dalam QS. An-Nahl ; 125, yang artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk”. Dengan demikian Tauhid di zaman Rasulullah saw tidak sampai kepada
perdebatan dan polemik yang berkepanjangan, karena Rasul sendiri menjadi
penengahnya.
B. Akidah pada Masa Sahabat
Masa permulaan
khalifah Islam khususnya khalifah pertama dan kedua, Ilmu Tauhid masih tetap
seperti masa Rasulullah SAW,. Hal ini disebabkan kaum muslimin
tidak sempat membahas dasar-dasar aqidah dimaksud. Waktu semuanya tersita untuk
menghadapi musuh, mempererat persatuan dan kesatuan umat.
Kaum muslimin
tidak mempersoalkan bidang aqidah, mereka membaca dan memahami Al Quran tanpa takwil, mengimani dan mengamalkannya menurut apa adanya. Menghadapi
ayat-ayat mutasyabihat segera mereka imani dan menyerahkan pentakwilannya
kepada Allah swt sendiri.
Masa kha;ifah ke tiga, Usman bin Affan,
mulai timbul kekacauan yang berbau politik dan fitnah, sehingga Usman sendiri
terbunuh. Usman Islam pecah berpuak-puak dengan pandangan sendiri. Untuk
mendukung pandangan mereka tanpa segan mereka menakwilkan ayat-ayat suci dan
Hadits Rasulullah SAW. Malahan ada diantara mereka menciptakan hadits-hadits
palsu.
Sejarah mencatat bahwa ketika Rasulullah SAW wafat, orang begitu sibuk
mencari pengganti beliau sebagai pemimpin pemerintahan (sebagai Nabi dan Rasul
tentu saja tidak bisa digantikan). Kesibukan dan pencurahan perhatian mencari
khalifah (pengganti) Muhammad itu sedemikian rupa sehingga melalaikan mereka
dari pemakaman Rasul sendiri. Hal ini disebabkan karena kawasan Islam pada saat
itu sudah cukup luas, meliputi seluruh jazirah Arabia dan telah memperlihatkan
potensi pengembangan yang lebih jauh lagi. Maka masalah kepemimpian menjadi
sangat penting. Akhirnya Abu Bakar yang terpilih. Meskipun khalifah pertama ini
dipilih dengan aklamasi formal, namun pasti ada yang tidak sepenuhnya rela
hati.
Pada waktu Abu Bakar
meninggal, beliau digantikan oleh Umar bin Khattab, khalifah yang sangat
kreatif dalam mengembangkan hukum maupun tata pemerintahan. Banyak
kebijaksanaan Umar yang sesungguhnya kontroversial akan tetapi dengan dukungan
wibawanya yang tinggi, orang mengikutinya dengan patuh.
Ketika meninggal,
Umar bin Khattab digantikan oleh Utsman bin Affan, seorang yang saleh dan
berilmu tinggi. Sebagai anggota keluarga pedagang Makkah yang cukup terkemuka,
Utsman memiliki kemampuan administratif yang baik, tetapi lemah dalam
kepemimpinan. Beliau banyak melanjutkan kebijaksanaan Umar namun tanpa wibawa
tinggi seperti Umar.
Kelemahan Utsman
yang mencolok dan mengakibatkan ketidaksenangan kepada beliau adalah
ketidak-mampuan mencegah ambisi di lingkungan keluarganya untuk menempati
kedudukan-kedudukan penting di lingkungan pemerintahan. Akibatnya banyak orang
yang tidak senang. Lalu ada lagi orang-orang yang menggunakan kesempatan untuk
mengipas-ngipas guna memperoleh keuntungan pribadi.
Di Mesir, penggantian gubernur yang diangkat
Umar bin Khattab, yakni Umar Ibnu Al Ash dengan Abdullah ibnu Sa'd, salah
seorang keluarga Utsman, mengakibatkan pemberontakan. Mereka mengerahkan
pasukan menyerbu Madinah dan berhasil membunuh Khalifah. Peristiwa pembunuhan
Khalifah ini dikenal sebagai Al
Fitnatul Kubro yang pertama.
Ketika Utsman wafat,
musyawarah para pemimpin kelompok dan suku menetapkan Ali bin Abi Thalib
sebagai penggantinya. Tetapi kemudian beliau ditentang oleh beberapa pihak,
antara lain oleh Tholhah dan Zubeir, yang dibantu oleh Aisyah isteri Rasulullah
SAW. Penentangan timbul terutama karena Ali dianggap tidak tegas dalam
mengadili pembunuh Utsman. Tentara gabungan pimpinan Tholah, Zubeir dan Aisyah
dikalahkan dengan telak. Tholhah dan Zubeir terbunuh, sedang Aisyah yang
tertangkap kemudian dikirimkan kembali ke Madinah.
Penentangan kedua
datang dari Mu'awiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Damaskus yang masih keluarga
Utsman. Dia menuntut Ali agar segera mengadili para pembunuh khalifah ketiga
itu. Beberapa waktu kemudian, ketika tuntutannya tidak dipenuhi dia malahan
menuduh Ali turut serta dalam pembunuhan tersebut. Apalagi ketika salah seorang
pemimpin pemberontakan yaitu Ibnu Abi Bakr, kemudian malahan diangkat sebagai
Gubernur Mesir.
Dalam pertempuran
yang terjadi di Shiffin, Ali bin Abi Thalib yang merupakan pemimpin militer
yang andal, dapat mendesak tentara Mu'awiyah. Tetapi pada saat kritis itu
tangan kanan Mu'awiyah yang bernama Amr ibnu Al As minta berunding dengan
mengangkat Kitab Al Qur’an ke atas. Permintaan itu diterima oleh Ali dengan
tulus. Maka Amr ibnu Al As sebagai perunding kelompok Mu'awiyah yang seorang
ahli diplomasi dapat mengalahkan Abu Musa Al Asy'ari yang mewakili pihak
Khalifah Ali di meja perundingan. Peristiwa itu megecewakan sebagian dari
pendukung Ali. Mereka sangat menyesalkan kesediaan Ali untuk menyelesaikan
perselisihan melalui perundingan.
Kelompok ini
kemudian menyatakan memisahkan diri dari Ali bin Abi Thalib dan menamakan
dirinya Khawarij (orang yang keluar). Hasil perundingan tersebut jelas
merugikan Ali sebagai khalifah yang resmi karena harus mengundurkan diri
bersama-sama Mu’awiyah, sedangkan Mu’awiyah sendiri ternyata tidak menepati
kesepakatan. Maka beliau tidak mau meletakkan jabatan dan menghadapi dua front,
yakni Mu'awiyah di satu pihak dan Khawarij di pihak lain. Tentara Ali
menghadapi Khawarij terlebih dahulu dan dapat menghancurkannya.
Namun mereka sudah
menjadi lemah dan tidak mampu lagi meneruskan pertempuran dengan Mu'awiyah.
Akhirnya beliau bahkan terbunuh pada tahun 661 M oleh seorang anggota Khawarij yang bernama
Abdurrahman bin Muljam. (Peristiwa ini dikenal dengan istilah Al
Fitnatul Kubro yang
kedua).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar