Aliran Mu’tazilah
1.
Pengertian
Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata “Í’tizal”
yang artinya “memisahkan diri”, pada
mulanya nama ini di berikan oleh orang dari luar mu’tazilah karena pendirinya,
Washil bin Atha’, tidak sependapat dan memisahkan diri dari gurunya, Hasan
al-Bashri. Dalam perkembangan selanjutnya, nama ini kemudian di setujui oleh
pengikut Mu’tazilah dan di gunakan sebagai nama dari bagi aliran teologi
mereka.
Ada beberapa pandangan, mengapa mereka
disebut mu’tazilah, yaitu kelompok atau orang yang mengasingkan dan memisahkan
diri.
Pendapat
pertama,
pemisahan mereka lebih disebabkan karena politik (i’tizâl siyâsi), dimana
mereka menamakan diri dengan Mu’tazilah ketika Hasan bin ‘Ali membai’at
Mu’awiyah dan menyerahkan jabatan khalifah kepadanya. Mereka mengasingkan diri
dari Hasan, Mu’awiyah dan semua orang. Mereka menetap di rumah-rumah dan
masjid-masjid. Mereka berkata: “kami bergelut dengan ilmu dan ibadah.”
Pendapat kedua, pemisahan mereka lebih disebabkan karena
perdebatan (i’tizâl kalâmi) mengenai hukum pelaku dosa besar antara Imam Hassan
al-Bashri dengan Wâshil bin ‘Atha’ yang hidup pada masa pemerintahan Hisyam bin
Abdil Malik al-Umawy.
2.
Latar Belakang
Aliran Mu’tazilah lahir kurang
lebih 120 H, pada abad permulaan kedua hijrah di kota basyrah dan mampu
bertahan sampai sekarang, namun sebenarnya, aliran ini telah muncul pada
pertengahan abad pertama hijrah yakni diisitilahkan pada para sahabat yang
memisahkan diri atau besikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada peristiwa
meletusnya perang jamal dan perang siffin, yang kemudian mendasari sejumlah
sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut dan memilih untuk
menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah.
Disisi lain, yang melatarbelakangi
munculnya Aliran Mu’tazilah adalah sebagai
respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah
akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda
pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada
yang berbuat dosa besar.
Dari segi geografis, aliran Mu’tazilah
dibagi menjadi dua, yaitu aliran Mu’tazilah Basrah dan aliran Mu’tazilah
Baghdad. Menurut Ahmad Amin sebagaimana yang ditulis oleh A. Hanafi bahwa
pengaruh filsafat Yunani pada aliran Mu’tazilah Baghdad lebih nampak, karena
adanya kegiatan penerjemahan buku-buku filsafat di Baghdad, dan juga karena
istana khalifah-khfalifah Abbasiyah di Baghdad menjadi tempat pertemuan
ulama-ulama Islam dengan ahli-ahli pikir golongan lain.
Aliran Basrah lebih banyak menekankan
segi-segi teori dan keilmuan, sedang aliran Baghdad sebaliknya, lebih
menekankan segi pelaksanaan ajaran Mu’tazilah dan banyak terpengaruh oleh
kekuasaan khalifah-khalifah. Aliran Baghdad banyak mengambil soal-soal yang
telah dibahas aliran Basrah, kemudian diperluas pembahasannya.
3.
Doktrin Ajaran
Ada lima prinsip pokok ajaran
Mu’tazilah yang mengharuskan bagi pemeluk ajaran ini untuk memegangnya, yan
dirumuskan oleh Abu Huzail al-Allaf :
a. Al Tauhid (keesaan Allah)
Ini
merupakan inti akidah madzhab mereka dalam membangun keyakinan tentang
mustahilnya melihat Allah di akhirat nanti, dan sifat-sifat Allah itu adalah
substansi Dzatnya sendiri serta Al Qur`an adalah makhluq.
Dalam
buku Ahmad Hanafi M.A., Theology Islam (Ilmu Kalam) dikutip pandangan
al-Asy’ari yang menyebutkan bahwa kaum Mu’tazilah menafsirkan Tauhid sebagai
berikut:
“Tuhan itu Esa,
tidak ada yang menyamainya, bukan benda (jisim), bukan orang (syakhs), bukan
jauhar, bukan pula aradh…tidak berlaku padanya…tidak mungkin mengambil tempat
(ruang), tidak bisa disifati dengan sifat-sifat yang ada pada makhluq yang
menunjukkan ketidak azalianNya. Tidak dibatas, tidak melahirkan dan tidak pula
dilahirkan, tidak dapat dicapai pancaindera…tidak dapat dilihat mata kepala dan
tidak bisa digambarkan akal pikiran. Ia Maha Mengetahui, berkuasa dan hidup,
tetapi tidak seperti orang yang mengetahui, orang yang berkuasa dan orang yang
hidup…hanya Ia sendiri yang Qadim, dan tidak ada lainnya yang Qadim…Tidak ada
yang menolongNya dalam menciptakan apa yang diciptakanNya dan tidak membikin
makhluq karena contoh yang telah ada terlebih dahulu.”
b. Al ‘Adl (keadlilan tuhan)
Paham
keadilan yang dikehendaki Mu’tazilah adalah bahwa Tuhan tidak menghendaki
keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia dan manusia dapat mengerjakan
perintah-perintahNya dan meninggalkan larangan-laranganNya dengan qudrah
(kekuasaan) yang ditetapkan Tuhan pada diri manusia itu. Tuhan tidak
memerintahkan sesuatu kecuali menurut apa yang dikehendakiNya. Ia hanya
menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkanNya dan tidak tahu menahu (bebas)
dari keburukan-keburukan yang dilarangNya.
Dengan
pemahaman demikian, maka tidaklah adil bagi Tuhan seandainya Ia menyiksa
manusia karena perbuatan dosanya, sementara perbuatan dosanya itu dilakukan
karena diperintah Tuhan. Tuhan dikatakan adil jika menghukum orang yang berbuat
buruk atas kemauannya sendiri.
c. Al Wa’d wa al wa’id (janji dan
ancaman)
Al-Wa’du Wal-Wa’id (janji dan ancaman), bahwa wajib
bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d)
bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam surga, dan melaksanakan
ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku
dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam neraka, kekal
abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena
inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah
d. Al Manzilah bain al Manzilatain
(posisi diantara posisi)
Secara
harfiah, berarti posisi diantara dua posisi. Menurut Mu’tazilah maksudnya
adalah suatu tempat antara surga dan neraka sebagai konsekwensi dari pemahaman
yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah Fasiq; tidak dikatakan beriman
dan tidak pula dikatakan kafir, dia tidak berhak dihukumkan Mu’min dan tidak
pula dihukumkan Kafir, begitu pula dihukum munafiq, karena sesungguhnya munafiq
berhak dihukumkan kafir seandainya telah diketahui kenifaqkannya. Dan tidaklah
yang demikian itu dihukumkan kepada pelaku dosa besar.
e. Amar ma’ruf nahi mungkar
Dengan
berpegang kepada QS. Ali Imran ; 104 dan QS. Luqman ; 17, seperti halnya
golongan lain bahwa perintah untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat
jahat adalah wajib ditegakkan.
Dalam
pandangan Mu’tazilah; dalam keadaan normal pelaksanaan al-amru bil ma’rûf wan nahyu ‘anil munkar itu cukup dengan seruan
saja, tetapi dalam keadaan tertentu perlu kekerasan.
Dalam
memastikan terlaksananya prinsif ini, mereka bertindak berlebih-lebihan dan
berselisih pandangan dengan mayoritas (jumhur) ummat; mereka mengatakan al-amru bil ma’rûf wan nahyu ‘anil munkar
itu dilakukan dengan hati saja bila itu cukup, jika tidak cukup maka dengan
lisan, dan jika dengan lisan saja tidak cukup maka dengan tangan, bahkan
dilaksanakan dengan senjata.
4.
Tokoh
a.
Washil bin Atha’
b.
Abu Huzail Al Allaf
c.
Al Nazzam
d.
Abu Hasyim Al Jubba’i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar