Sabtu, 26 Oktober 2013

Aliran Mu’tazilah

Aliran Mu’tazilah

1.  Pengertian
     Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata “Í’tizal” yang artinya “memisahkan diri”, pada mulanya nama ini di berikan oleh orang dari luar mu’tazilah karena pendirinya, Washil bin Atha’, tidak sependapat dan memisahkan diri dari gurunya, Hasan al-Bashri. Dalam perkembangan selanjutnya, nama ini kemudian di setujui oleh pengikut Mu’tazilah dan di gunakan sebagai nama dari bagi aliran teologi mereka.
     Ada beberapa pandangan, mengapa mereka disebut mu’tazilah, yaitu kelompok atau orang yang mengasingkan dan memisahkan diri.
     Pendapat pertama, pemisahan mereka lebih disebabkan karena politik (i’tizâl siyâsi), dimana mereka menamakan diri dengan Mu’tazilah ketika Hasan bin ‘Ali membai’at Mu’awiyah dan menyerahkan jabatan khalifah kepadanya. Mereka mengasingkan diri dari Hasan, Mu’awiyah dan semua orang. Mereka menetap di rumah-rumah dan masjid-masjid. Mereka berkata: “kami bergelut dengan ilmu dan ibadah.”
Pendapat kedua, pemisahan mereka lebih disebabkan karena perdebatan (i’tizâl kalâmi) mengenai hukum pelaku dosa besar antara Imam Hassan al-Bashri dengan Wâshil bin ‘Atha’ yang hidup pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdil Malik al-Umawy.
2.  Latar Belakang
     Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih 120 H, pada abad permulaan kedua hijrah di kota basyrah dan mampu bertahan sampai sekarang, namun sebenarnya, aliran ini telah muncul pada pertengahan abad pertama hijrah yakni diisitilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri atau besikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada peristiwa meletusnya perang jamal dan perang siffin, yang kemudian mendasari sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut dan memilih untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah.
     Disisi lain, yang melatarbelakangi munculnya Aliran Mu’tazilah adalah sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar.
     Dari segi geografis, aliran Mu’tazilah dibagi menjadi dua, yaitu aliran Mu’tazilah Basrah dan aliran Mu’tazilah Baghdad. Menurut Ahmad Amin sebagaimana yang ditulis oleh A. Hanafi bahwa pengaruh filsafat Yunani pada aliran Mu’tazilah Baghdad lebih nampak, karena adanya kegiatan penerjemahan buku-buku filsafat di Baghdad, dan juga karena istana khalifah-khfalifah Abbasiyah di Baghdad menjadi tempat pertemuan ulama-ulama Islam dengan ahli-ahli pikir golongan lain.
     Aliran Basrah lebih banyak menekankan segi-segi teori dan keilmuan, sedang aliran Baghdad sebaliknya, lebih menekankan segi pelaksanaan ajaran Mu’tazilah dan banyak terpengaruh oleh kekuasaan khalifah-khalifah. Aliran Baghdad banyak mengambil soal-soal yang telah dibahas aliran Basrah, kemudian diperluas pembahasannya.
3.  Doktrin Ajaran
Ada lima prinsip pokok ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan bagi pemeluk ajaran ini untuk memegangnya, yan dirumuskan oleh Abu Huzail al-Allaf :
a.   Al Tauhid (keesaan Allah)
Ini merupakan inti akidah madzhab mereka dalam membangun keyakinan tentang mustahilnya melihat Allah di akhirat nanti, dan sifat-sifat Allah itu adalah substansi Dzatnya sendiri serta Al Qur`an adalah makhluq.
Dalam buku Ahmad Hanafi M.A., Theology Islam (Ilmu Kalam) dikutip pandangan al-Asy’ari yang menyebutkan bahwa kaum Mu’tazilah menafsirkan Tauhid sebagai berikut:
“Tuhan itu Esa, tidak ada yang menyamainya, bukan benda (jisim), bukan orang (syakhs), bukan jauhar, bukan pula aradh…tidak berlaku padanya…tidak mungkin mengambil tempat (ruang), tidak bisa disifati dengan sifat-sifat yang ada pada makhluq yang menunjukkan ketidak azalianNya. Tidak dibatas, tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan, tidak dapat dicapai pancaindera…tidak dapat dilihat mata kepala dan tidak bisa digambarkan akal pikiran. Ia Maha Mengetahui, berkuasa dan hidup, tetapi tidak seperti orang yang mengetahui, orang yang berkuasa dan orang yang hidup…hanya Ia sendiri yang Qadim, dan tidak ada lainnya yang Qadim…Tidak ada yang menolongNya dalam menciptakan apa yang diciptakanNya dan tidak membikin makhluq karena contoh yang telah ada terlebih dahulu.”
b.   Al ‘Adl (keadlilan tuhan)
Paham keadilan yang dikehendaki Mu’tazilah adalah bahwa Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia dan manusia dapat mengerjakan perintah-perintahNya dan meninggalkan larangan-laranganNya dengan qudrah (kekuasaan) yang ditetapkan Tuhan pada diri manusia itu. Tuhan tidak memerintahkan sesuatu kecuali menurut apa yang dikehendakiNya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkanNya dan tidak tahu menahu (bebas) dari keburukan-keburukan yang dilarangNya.
Dengan pemahaman demikian, maka tidaklah adil bagi Tuhan seandainya Ia menyiksa manusia karena perbuatan dosanya, sementara perbuatan dosanya itu dilakukan karena diperintah Tuhan. Tuhan dikatakan adil jika menghukum orang yang berbuat buruk atas kemauannya sendiri.
c.   Al Wa’d wa al wa’id (janji dan ancaman)
 Al-Wa’du Wal-Wa’id (janji dan ancaman), bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam surga, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam neraka, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah
d.   Al Manzilah bain al Manzilatain (posisi diantara posisi)
Secara harfiah, berarti posisi diantara dua posisi. Menurut Mu’tazilah maksudnya adalah suatu tempat antara surga dan neraka sebagai konsekwensi dari pemahaman yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah Fasiq; tidak dikatakan beriman dan tidak pula dikatakan kafir, dia tidak berhak dihukumkan Mu’min dan tidak pula dihukumkan Kafir, begitu pula dihukum munafiq, karena sesungguhnya munafiq berhak dihukumkan kafir seandainya telah diketahui kenifaqkannya. Dan tidaklah yang demikian itu dihukumkan kepada pelaku dosa besar.
e.   Amar ma’ruf nahi mungkar
Dengan berpegang kepada QS. Ali Imran ; 104 dan QS. Luqman ; 17, seperti halnya golongan lain bahwa perintah untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat jahat adalah wajib ditegakkan.
Dalam pandangan Mu’tazilah; dalam keadaan normal pelaksanaan al-amru bil ma’rûf wan nahyu ‘anil munkar itu cukup dengan seruan saja, tetapi dalam keadaan tertentu perlu kekerasan.
Dalam memastikan terlaksananya prinsif ini, mereka bertindak berlebih-lebihan dan berselisih pandangan dengan mayoritas (jumhur) ummat; mereka mengatakan al-amru bil ma’rûf wan nahyu ‘anil munkar itu dilakukan dengan hati saja bila itu cukup, jika tidak cukup maka dengan lisan, dan jika dengan lisan saja tidak cukup maka dengan tangan, bahkan dilaksanakan dengan senjata.
4.  Tokoh
a.   Washil bin Atha’
b.   Abu Huzail Al Allaf
c.   Al Nazzam
d.   Abu Hasyim Al Jubba’i

Tidak ada komentar:

Posting Komentar