Aliran Ahlu
Sunnah Wal Jamaah/Sunni
Ahlussunnah berarti penganut atau pengikut sunnah Nabi
Muhammad SAW, dan jemaah berarti sahabat nabi. Jadi Ahlussunnah wal jama’ah mengandung arti “penganut Sunnah (ittikad) nabi dan para sahabat beliau. Aliran ini, muncul sebagai reaksi setelah
munculnya aliran Asy’ariyah
dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran
Mu’tazilah.
Tokoh utama yang
juga merupakan pendiri mazhab ini adalah Abu Al Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur
Al Maturidi. Dua tokoh Sunni ini
kemudian dalam perkembanganya ajaran mereka menjadi doktrin penting dalam
aliran Sunni yakni aliran Asy’ariyah
dan aliran Maturidiyah.
Sebagai aliran yang
se zaman, keduanya termasuk dalam aliran
Ahlussunnah. Terkait kepemimpinan
para khalifah setelah Nabi saw sesuai urutan historis yang telah terjadi,
keduanya memiliki pandangan serupa. Juga tak ada perbedaan dalam pandangan
mereka terhadap para penguasa Bani Umayah dan Bani Abbas. Dalam semua sisi
masalah imamah pun mereka saling sepakat. Keduanya juga sepaham bahwa Allah
bisa dilihat tanpa kaif
(cara), had (batas),
qiyam (berdiri) wa qu`ud (duduk) dan
hal-hal sejenisnya.
1. Aliran Asy’ariyah
a.
Pengertian
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abu Hasan Al Asy`ariy.
Nama lengkapnya ialah Abu Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim
bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al
Asy’ari. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian
ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abu Hasan Al
Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di
Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al Marwazi, seorang
fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari
Al Jubba’i, seorang ketua Mu’tazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya
menikah lagi dengan Abu Ali Al Jubba’i, salah seorang pembesar Mu’tazilah. Hal
itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai
betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk
membantah kelompok Mu’tazilah.
Al Asy’ari yang
semula berpaham Mu’tazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang
ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abu Hasan telah mengalami kemelut
jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Mu’tazilah.
Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan
Al Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain
mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi
dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang
mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi
beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang
kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang
ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Mu’tazilah,
Al Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia
mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah itu,
Abu Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan
menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada
pendirian barunya. Dalam kitab Al Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang
pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abu Hasan menjelaskan bahwa ia menolak
pemikirian Mu’tazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah.
Dalam beragama ia berpegang pada Al Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang
diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
b.
Latar Belakang
Pada masa berkembangnya ilmu kalam,
kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan menggunakan ratio telah
menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran
pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam.
Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen
yang bisa dicerna akal.
Al Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam
menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode
akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan
aqli.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini
tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Mu’tazilah yang
berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Mu’tazilah di mata Al Asy'ari adalah
bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan-manusia, bahwa kekuasaan dan
kehendak Tuhan dikompromikan.
Akidah ini menyebar luas pada zaman
wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi
negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan madrasah An
Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah
Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh
para petinggi negeri itu seperti Al Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki
serta sultan Shalahuddin Al Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar
ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy Syafi'i dan mazhab Al Malikiyah periode
akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy'ariyah ini
adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
c.
Doktrin Ajaran
1)
Sifat-sifat Tuhan.
Menurutnya, Tuhan
memiliki sifat sebagaiman di sebut di dalam Al Qur’an, yang di sebut sebagai
sifat-sifat yang azali, Qadim, dan berdiri diatas zat tuhan.
Sifat-sifat itu bukanlah zat tuhan dan bukan pula lain dari zatnya.
2)
Al Qur’an.
Menurutnya, Al Quran
adalah qadim dan bukan makhluk
diciptakan.
3)
Melihat Tuhan.
Menurutnya, Tuhan
dapat dilihat dengan mata oleh manusia di akhirat nanti.
4)
Perbuatan Manusia.
Menurutnya,
perbuatan manusia di ciptakan tuhan, bukan di ciptakan oleh manusia itu
sendiri.
5)
Keadlian Tuhan
Menurutnya, tuhan
tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menentukan tempat manusia di akhirat.
Sebab semua itu marupakan kehendak mutlak tuhan sebab Tuhan Maha Kuasa atas
segalanya.
6) Muslim
yang berbuat dosa.
Menurutnya, yang berbuat dosa dan tidak
sempat bertobat diakhir hidupnya tidaklah kafir dan tetap mukmin.
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan
terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jamaah
ialah Imam Al Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada
paham-paham Asy’ari. Al Ghazali meyakini bahwa:
1)
Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang
tidak identik dengan zat Tuhan dan
mempunyai wujud di luar zat.
2)
Al Qur’an bersifat qadim dan tidak
diciptakan.
3)
Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang
menciptakan daya dan perbuatan
4)
Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap
yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
5)
Tuhan tidak berkewajiban menjaga
kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia, tidak wajib memberi ganjaran pada
manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tak dapat dipikul kepada
manusia.
Berkat Al-Ghazali paham Asy’ari dengan Ahl sunah wal jamaahnya berhasil
berkembang ke mana pun, meski pada masa itu aliran Mu’tazilah amat kuat di
bawah dukungan para khalifah Abasiyah.
d.
Tokoh
1)
Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
2)
Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/
1150-1210)
3)
Abu Ishaq Al-Isfarayini (w 418/1027)
4)
Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402
H/950-1013 M)
5)
Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/
1003-1083 M)
2. Aliran Maturidiyah
a.
Pengertian
Aliran
Maturidiyah merupakan aliran teologi yang bercorak rasional-tradisional. Nama
aliran itu dinisbahkan dari nama pendirinya, Abu Mansur Muhammad al-Maturidi.
Al Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan
pertentangan pendapat antara Mu’tazilah dan Asy'ariyah mengenai kemampuan akal
manusia. Aliran ini disebut-sebut memiliki kemiripan dengan Asy'ariyah.
Aliran
Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur Al Maturidi
yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami. Aliran
Maturidiyah digolongkan dalam teologi Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan
ajaran yang bercorak rasional.
Jika
dilihat dari metode berpikir dari aliran Maturidiyah, aliran ini merupakan
aliran yang memberikan otoritas yang besar kepada akal manusia, tanpa
berlebih-lebihan atau melampaui batas, maksudnya aliran Maturidiyah berpegang
pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan
syara’. Sebaliknya jika hal itu bertentangan dengan syara’, maka akal harus
tunduk kepada keputusan syara’.
Berdasarkan
prinsip pendiri aliran Maturidiyah mengenai penafsiran Al Qur’an yaitu
kewajiban melakukan penalaran akal disertai bantuan nash dalam penafsiran Al
Qur’an. Dalam menfsirkan Al Qur’an Al Maturidi membawa ayat-ayat yang mutasyabih (samar
maknanya) pada makna yang muhkam
(terang dan jelas pengertiannya). Ia menta’wilkan yang muhtasyabih berdasarkan
pengertian yang ditunjukkan oleh yang muhkam.
Jika seorang mikmin tidak mempunyai kemampuan untuk menta’wilkannya, maka
bersikap menyerah adalah lebih selamat.
b.
Latar Belakang
Aliran Maturidiyah
lahir di samarkand, pertengahan kedua dari abad IX M. pendirinya adalah Abu
Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al Maturidi, di daerah Maturid
Samarqand, untuk melawan mazhab Mu`tazilah. Abu Manshur Maturidi (wafat 333 H) menganut
mazhab Abu Hanifah dalam masalah fikih. Oleh sebab itu, kebanyakan pengikutnya
juga bermazhab Hanafi. Riwayatnya tidak banyak diketahui. Ia sebagai pengikut
Abu Hanifa sehingga paham teologinya memiliki banyak persamaan dengan
paham-paham yang dipegang Abu Hanifa. Sistem pemikiran aliran maturidiyah, termasuk golongan teologi
ahli sunah.
Al
Maturidi dalam pemikiran teologinya banyak menggunakan rasio. Hal ini mungkin
banyak dipengaruhi oleh Abu Hanifa karena Al Maturidi sebagai pengikat Abu
Hanifa. Dan timbulnya aliran ini sebagai reaksi terhadap mu’tazilah.
Dalam
Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve, disebutkan, pada
pertengahan abad ke-3 H terjadi pertentangan yang hebat antara golongan
Mu’tazilah dan para ulama. Sebab, pendapat Mu’tazilah dianggap menyesatkan umat
Islam. Al Maturidi yang hidup pada masa itu melibatkan diri dalam pertentangan
tersebut dengan mengajukan pemikirannya.Pemikiran-pemikiran Al Maturidi dinilai
bertujuan untuk membendung tidak hanya paham Mu’tazilah, tetapi juga aliran
Asy'ariyah. Banyak kalangan yang menilai, pemikirannya itu merupakan jalan
tengah antara aliran Mu’tazilah dan Asy'ariyah. Karena itu, aliran Maturidiyah
sering disebut “berada antara teolog Mu’tazilah dan Asy'ariyah”.Namun, keduanya
(Maturidi dan Asy'ari) secara tegas menentang aliran Mu’tazilah.
c.
Doktrin Ajaran
1) Akal
dan Wahyu
Al
Maturidi dalam pemikiran teologinya berdasarkan pada Al Qur’an dan akal, akal
banyak digunakan diantaranya karena dipengaruhi oleh Mazhab Imam Abu Hanifah.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat
diketahui dengan akal. Hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al Qur’an yang
memerintahkan agar manusia menggunakan akalnya untuk memperoleh pengetahuan dan
keimanannya terhadapAllah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam
tentang makhluk ciptaan-Nya. Jika akal tidak memiliki kemampuan tersebut, maka
tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang
yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai
Allah berarti ia telah meninggalkan kewajiban yang diperintahkan oleh ayat-ayat
tersebut Namun akal, menurut Al Maturidi tidak mampu mengetahui
kewajiban-kewajiban yang lain.
Dalam
masalah amalan baik dan buruk, beliau berpendapat bahwa penentu baik dan
buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau
larangan syari’ah hanyalah mengikuti kemampuan akal mengenai baik dan buruknya
sesuatu, walau ia mengakui bahwa akal terkadang tidak mampu melakukannya. Dalam
kondisi ini, wahyu dijadikan sebagai pembimbing.
Al Maturidi membagi
kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu :
a)
Akal dengan sendirinya hanya
mengetahui kebaikan sesuatu itu.
b)
Akal dengan sendirinya hanya
mengetahui keburukan sesuatu itu,
c)
Akal tidak mengetahui kebaikan dan
keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk wahyu.
Tentang
mengetahui kebaikan dan keburukan Maturidiyah memiliki kesamaan dengan
Mu’tazilah, namun tentang kewajiban melakukan kebaikan dan meninggalkan
keburukan Maturidiyah berpendapat bahwa ketentuan itu harus didasarkan pada
wahyu.
2)
Perbuatan Manusia
Perbuatan
manusia adalah ciptaan Allah, karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah
ciptaan-Nya. Mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak
Allah mengharuskan manusia untuk memiliki kemampuan untuk berbuat (ikhtiar)
agar kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan. Dalam hal ini Al
Maturidi mempertemukan antara ikhtiar manusia dengan qudrat Allah sebagai
pencipta perbuatan manusia. Allah mencipta daya (kasb) dalam setiap diri manusia
dan manusia bebas memakainya, dengan demikian tidak ada pertentangan sama
sekali antara qudrat Allah dan ikhtiar manusia.
Dalam
masalah pemakaian daya ini Al Maturidi memakai faham Imam Abu Hanifah, yaitu
adanya Masyiah (kehendak) dan ridha (kerelaan). Kebebasan manusia dalam
melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehendak Allah, tetapi
ia dapat memilih yang diridhai-Nya atau yang tidak diridhai-Nya. Manusia
berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Allah, dan Manusia berbuat baik atas
kehendak dan kerelaan Allah, dan berbuat buruk pun dengan kehendak Allah,
tetapi tidak dengan kerelaan-Nya.
3)
Kekuasaan dan
Kehendak Mutlak Tuhan
Penjelasan
di atas menerangkan bahwa Allah memiliki kehendak dalam sesuatu yang baik atau
buruk. Tetapi, pernyataan ini tidak berarti bahwa Allah berbuat sekehendak dan
sewenang-wenang. Hal ini karena qudrat tidak sewenang-wenang (absolute), tetapi
perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan
yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
4)
Sifat Tuhan
Tuhan
mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar, kalam, dan sebagainya. Al Maturidi
berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula
lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama/inheren) dzat
tanpa terpisah (innaha lam takun ain
adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat,
sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada bilangannya yang qadim (taadud al-qadama).
Tampaknya
faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati faham Mu’tazilah,
perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap adanya sifat Tuhan.
5)
Melihat Tuhan
Al
Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan, hal ini diberitakan
dalam. QS. Al Qiyamah ayat 22 dan 23 :
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu
berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”
Lebih
lanjut beliau mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan
mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat Tuhan,
kelak di akhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di sana beda dengan
dunia.
6)
Kalam Tuhan
Al
Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara denagn
kalam nafsi (sabda yang sebenarnya
atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam
yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadits). Kalam nafsi tidak
dapat kita ketahui hakikatnya dari bagaimana Allah bersifat dengannya, kecuali
dengan suatu perantara.
Maturidiyah
menerima pendapat Mu’tazilah mengenai Al Qur’an sebagai makhluk Allah, tapi Al
Maturidi lebih suka menyebutnya hadits sebagai pengganti makhluk untuk sebutan
Al Qur’an.
7)
Perbuatan Tuhan
Semua
yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi
kehendak Tuhan, kecuali karena da hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh
kehendak-Nya sendiri. Setiap perbuatan-Nya yang bersifat mencipta atau
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan
keadilan yang dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
Tuhan
tidak akan membebankan kewajiban di luar kemampuan manusia, karena hal tersebut
tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia diberikan kebebasan oleh Allah dalam
kemampuan dan perbuatannya, Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena
merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
8)
Pengutusan Rasul
Pengutusan
Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu yang
disampaikan oleh rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di
luar kemampuan akalnya. Pandangan ini tidak jauh dengan pandangan Mu’tazilah,
yaitu bahwa pengutusan rasul kepada umat adalah kewajiban Tuhan agar manusia
dapat berbuat baik bahkan terbaik dalam hidupnya.
9)
Pelaku Dosa Besar
Al
Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di
dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah
menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.
Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang musyrik.
Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu amal tidak menambah atau mengurangi esensi iman, hanya menambah atau mengurangi sifatnya.
Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu amal tidak menambah atau mengurangi esensi iman, hanya menambah atau mengurangi sifatnya.
10)
Iman
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah
Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al qalb, bukan semata iqrar bi al-lisan. Al Qur’an surat
Al-Hujurat ayat 14 :
“Orang-orang Arab
Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah: ‘Kamu belum beriman, tapi
Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu;
dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi
sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang’."
Ayat tersebut difahami sebagai penegasan
bahwa iman tidak hanya iqrar bi al-lisan, tanpa diimani oleh qalbu. Lebih
lanjut Al Maturidi mendasarkan pendapatnya pada QQS. Al Baqarah ; 260,
“Dan (ingatlah)
ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana
Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum
yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan
tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau
demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah
berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari
bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu
dengan segera." dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”
Dalam ayat tersebut, bukan berarti bahwa
Nabi Ibrahim belum beriman, tetapi beliau menginginkan agar keimanannya menjadi
keimanan ma’rifah. Ma’rifah didapat melalui penalaran akal. Adapun pengertian
iman menurut golongan Bukhara, adalah tashdiq bi al-qalb dan iqrar bi al-lisan,
yaitu meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul
yang diutus-Nya dengan membawa risalah serta mengakui segala pokok ajaran islam
secara verbal.
d.
Sekte Aliran Maturidiyah
1)
Golongan
Samarkand.
Golongan ini dalah pengikut Al
Maturidi sendiri, golongan ini cenderung ke arah paham mu’tazilah, sebagaimana
pendapatnya soal sifat-sifat tuhan, maturidi dan asy’ary terdapat kesamaan
pandangan, menurut maturidi, tuhan mempunyai sifat-sifat, tuhan mengetahui bukan
dengan zatnya, melainkan dengan pengetahuannya.
Begitu juga tuhan berkuasa dengan
zatnya. Mengetahui perbuatan-perbuatan manusia maturidi sependapat dengan
golongan mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya mewujudkan
perbuatan-perbutannya. Apabila ditinjau dari sini, maturidi berpaham qadariyah.
Maturidi menolak paham-paham mu’tazilah, antara lain maturidiyah tidak sepaham
mengenai pendapat mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk.
Aliran maturidi juga sepaham dengan mu’tazilah dalam soal al-waid wa al-waid. Bahwa janji dan ancaman tuhan, kelak pasti
terjadi. Demikian pula masalah antropomorphisme. Dimana maturidi berpendapat
bahwa tangan wajah tuhan, dan sebagainya seperti pengambaran Al Qur’an. Mesti
diberi arti kiasan (majazi). Dalam hal ini. Maturidi bertolak belakang dengan
pendapat asy’ary yang menjelaskan bahwa ayat-ayat yang menggambarkan tuhan
mempunyai bentuk jasmani tak dapat diberi interpretasi (ditakwilkan).
2) Golongan Bukhara
Golongan Bukhara ini dipimpin oleh
Abu Al Yusr Muhammad Al Bazdawi. Dia merupakan pengikut maturidi yang penting
dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al Bazdawi menjadi salah satu
murid maturidi. Dari orang tuanya, Al Bazdawi dapat menerima ajaran maturidi.
Dengan demikian yang di maksud golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut
Al-Bazdawi di dalam aliran Al Maturidiyah, yang mempunyai pendapat lebih dekat
kepada pendapat-pendapat Al Asy’ary.
Namun walaupun sebagai aliran
maturidiyah. Al Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan maturidi. Ajaran-ajaran
teologinya banyak dianut oleh sebagin umat Islam yang bermazab Hanafi. Dan
pemikiran-pemikiran maturidiya sampai sekarang masih hidup dan berkembang
dikalangan umat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar