Isra’ Mi’raj
1.
Pengertian Isra’ Mi’raj
a.
Bahasa
Mi’raj adalah tangga alat naik. Dalam Mi'raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke
langit menggunakan kendaraan Buraq
sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan
tempat tertinggi.
b.
Istilah
Isra Mi’raj adalah peristiwa diperjalankannya
Rasulullah Saw. dari Mekah ke Bayt al Maqdis, kemudian naik ke Sidrat
al Muntaha dan kembali lagi ke Mekah pada suatu malam dalam waktu singkat.
Peristiwa isra’ secara eksplisit
dijelaskan dalam QS Al
Isra (17), sementara mi’raj disebut dalam QS. Al-Najm (53).
2.
Dalil Isra’ Mi’raj
a.
Al Qur’an
1) QS. Al Isra’ (17) : 1
Maha Suci Allah,
yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke
Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan
kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
2) QS. Al Isra’ (17) : 78
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir
sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan
(oleh malaikat).
3) QS. Al Najm (53) : 13-18
13. Dan sesungguhnya
Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, 14. (yaitu) di Sidratil Muntaha 15. Di dekatnya ada syurga tempat tinggal, 16.
(Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang
meliputinya. 17. Penglihatannya (muhammad) tidak
berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. 18. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan)
Tuhannya yang paling besar.
b.
Hadits
1) Qatadah: Telah mengisahi kami Anas bin Malik, dari Malik bin Sha’sha’ah ra,
ia telah berkata: Telah bersabda Nabi : “Ketika
aku di al-Bait (yaitu Baitullah atau Ka’bah) antara tidur dan jaga”, kemudian
beliau menyebutkan tentang seorang lelaki di antara dua orang lelaki. “Lalu didatangkan
kepadaku bejana dari emas yang dipenuhi dengan kebijaksanaan dan keimanan.
Kemudian aku dibedah dari tenggorokan hingga perut bagian bawah. Lalu perutku
dibasuh dengan Air Zam Zam, kemudian diisi dengan kebijaksanaan (hikmah) dan
keimanan. Dan didatangkan kepadaku binatang putih yang lebih kecil dari kuda
dan lebih besar dari baghal (peranakan kuda dan keledai), yaitu Buraq. (HR al-Bukhari (3207).
2) Aisyah r.a. berkata, “Allah Ta’ala memfardhukan shalat ketika difardhukan-Nya dua rakaat-dua
rakaat, baik di rumah maupun dalam perjalanan. Selanjutnya, dua rakaat itu
ditetapkan shalat dalam perjalanan dan shalat di rumah ditambah lagi
(rakaatnya).” (Dalam satu riwayat: Kemudian
Nabi Muhammad saw. hijrah, lalu difardhukan shalat itu menjadi empat rakaat dan
dibiarkan shalat dalam bepergian sebagaimana semula. (HR. Bukhari no. 195)
3) Saat Nabi SAW diisrakan ke Masjid al-Aqsha, subuhnya
orang-orang membicarakan hal itu. Maka sebagian orang murtad dari yang awalnya
beriman dan membenarkan beliau. Mereka memberitahukan hal itu kepada Abu Bakar
ra. Mereka bertanya: "Apa pendapatmu
tentang sahabatmu yang mengaku bahwasanya dia diisrakan malam tadi ke Baitul
Maqdis?" Dia (Abu Bakar) menjawab: "Apakah ia berkata demikian?" Mereka berkata: Ya. Dia menjawab: "Jika ia mengatakan itu, maka sungguh ia telah (berkata)
jujur." Mereka berkata: "Apakah
engkau membenarkannya bahwasanya dia pergi malam tadi ke Baitul Maqdis dan
sudah pulang sebelum subuh?" Dia menjawab: "Ya, sungguh aku
membenarkannya (bahkan) yang lebih jauh dari itu. Aku membenarkannya terhadap
berita langit (yang datang) di waktu pagi maupun sore." Maka karena
hal itulah, Abu Bakar diberi nama ash-Shiddiq.
(HR al-Hakim dari Aisyah radhiyallahu anha. Shahih lighairih menurut al-Albani dalam ash-Shahihah I: 306).
Dari keterangan
hadis-hadis tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa Nabi Muhammad saw dijalankan
di waktu malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaksa atas izin Allah di bawah
bimbingan malaikat Jibril!. Sebelum Nabi Muhammad saw diperjalankan malam hari
itu, hatinya diisi iman dan hikmah, agar beliau tahan menghadapi segala macam
cobaan dan tabah dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya.
3.
Proses
Isra’ Mi’kraj terjadi pada periode
akhir kenabian di Makkah sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Menurut Abu A’la Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mi'raj terjadi pada tahun pertama
sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Menurut Al Manshurfuri, Isra Mi'raj terjadi pada
malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian, sebagian ulama menyebut terjadi pada tahun
12 kenabian.
Perjalanan Nabi Muhammad SAW. dari
Makkah ke Bayt Al Maqdis, kemudian
naik ke Sidrat Al Muntaha, bahkan
melampauinya, serta kembalinya ke Makkah dalam waktu sangat singkat, merupakan
tantangan terbesar sesudah Al Qur’an disodorkan oleh Tuhan kepada umat manusia.
Peristiwa ini membuktikan bahwa 'ilm
dan qudrat Tuhan meliputi dan
menjangkau, bahkan mengatasi, segala yang finite
(terbatas) dan infinite (tak
terbatas) tanpa terbatas waktu atau ruang.
Peristiwa Isra’ Mi’raj bermula ketika Malaikat
Jibril AS mendapat perintah dari Allah untuk menjemput Nabi Muhammad SAW untuk
menghadap Allah SWT. Jibril membangunkan Rasul dan membimbingnya keluar
Masjidil Haram ternyata diluar masjid telah menunggu kendaraan bernama Buraq
sebuah kendaraan yang kecepatannya lebih cepat dari kecepatan rambat cahaya dan
setiap langkahnya sejauh mata memandang.
Sayyid Qutub dalam
kitabnya yang terkenal, Fi Zhilal Al
Qur’an menyatakan, ‘‘Perjalanan dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa adalah perjalanan yang murni pilihan daripada
Zat Yang Maha Kasih dan Maha Lembut, yang menghubungkan akar kesejarahan
agama-agama besar dari zaman Nabi Ibrahim dan Ismail hingga Nabi Muhammad SAW”.
Perjalanan dimulai
Rasulullah mengendarai buraq bersama
Jibril. Jibril berkata, “turunlah dan
kerjakan shalat”. Rasulullahpun turun. Jibril berkata, “dimanakah engkau sekarang ?” “tidak
tahu”, kata Rasul. “Engkau berada di
Madinah, disanalah engkau akan berhijrah “, kata Jibril.
Perjalanan dilanjutkan ke Syajar Musa (Masyan) tempat penghentian Nabi Musa
ketika lari dari Mesir, kemudian kembali ke Tunisia tempat Nabi Musa menerima
wahyu, lalu ke Baitullhmi tempat
kelahiran Nabi Isa AS, dan diteruskan ke Masjidil Aqsha di Yerussalem sebagai
kiblat nabi-nabi terdahulu.
Jibril menurunkan
Rasulullah dan menambatkan kendaraannya. Setelah rasul memasuki masjid ternyata
telah menunggu Para nabi dan rasul. Rasul bertanya : “Siapakah mereka ?”“Saudaramu para Nabi dan Rasul”. Kemudian Jibril
membimbing Rasul kesebuah batu besar, tiba-tiba Rasul melihat tangga yang
sangat indah, pangkalnya di Maqdis dan ujungnya menyentuh langit. Kemudian
Rasulullah bersama Jibril naik tangga itu menuju kelangit tujuh dan ke Sidrat al Muntaha.
“Dan sesungguhnya nabi Muhammad telah
melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, yaitu di
Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat
Jibril) ketika Sidratull Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dariyang dilihatnya itu dan tidakpula
melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan)
Tuhannya yang paling besar.” (QS. An Najm : 13 – 18).
Selanjutnya
Rasulullah melanjutkan perjalanan menghadap Allah tanpa ditemani Jibril
Rasulullah membaca yang artinya : “Segala
penghormatan adalah milikAllah, segala Rahmat dan kebaikan“. Allah
berfirman yang artinya: “Keselamatan
bagimu wahai seorang nabi, Rahmat dan berkahnya“. Rasul membaca
lagi yang artinya: “Keselamatan
semoga bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh. Rasulullah dan ummatnya
menerima perintah ibadah shalat“. Berfirman Allah SWT : “Hai Muhammad Aku mengambilmu sebagai
kekasih sebagaimana Aku telah mengambil Ibrahim sebagai kesayanagan dan Akupun
memberi firman kepadamu seperti firman kepada Musa Akupun menjadikan ummatmu sebagai
umat yang terbaik yang pernah dikeluarkan pada manusia, dan Akupun menjadikan
mereka sebagai umat wasath (adil dan pilihan), Maka ambillah apa yang aku
berikan kepadamu dan jadilah engkau termasuk orang-orang yang bersyukur“.
“Kembalilah kepada umatmu dan sampaikanlah kepada mereka
dari Ku”.
Kemudian Rasul turun
ke Sidrat al Muntaha. Jibril berkata
: “Allah telah memberikan kehormatan
kepadamu dengan penghormatan yang tidak pernah diberikan kepada seorangpun dari
makhluk Nya baik malaikat yang terdekat maupun nabi yang diutus. Dan Dia telah
membuatmu sampai suatu kedudukan yang tak seorangpun dari penghuni langit
maupun penghuni bumi dapat mencapainya. Berbahagialah engkau dengan
penghormatan yang diberikan Allah kepadamu berupa kedudukan tinggi dan kemuliaan
yang tiada bandingnya. Ambillah kedudukan tersebut dengan bersyukur kepadanya
karena Allah Tuhan pemberi nikmat yang menyukai orang-orang yang bersyukur”.
Lalu Rasul memuji Allah.
Kemudian Jibril
berkata : “Berangkatlah ke surga agar aku
perlihatkan kepadamu apa yang menjadi milikmu disana sehingga engkau lebih
zuhud disamping zuhudmu yang telah ada, dan sampai lah disurga dengan Allah
SWT. Tidak ada sebuah tempat pun aku biarkan terlewatkan”. Rasul melihat
gedung-gedung dari intan mutiara dan sejenisnya, Rasul juga melihat pohon-pohon
dari emas. Rasul melihat disurga apa yang mata belum pernah melihat, telingan
belum pernah mendengar dan tidak terlintas dihati manusia semuanya masih kosong
dan disediakan hanya pemiliknya dari kekasih Allah ini yang dapat melihatnya.
Semua itu membuat Rasul kagum untuk seperti inilah mestinya manusia beramal.
Kemudian Rasul diperlihatkan neraka sehingga rasul dapat melihat
belenggu-belenggu dan rantai-rantainya selanjutnya Rasulullah turun ke bumi dan
kembali ke masjidil haram menjelang subuh.
4.
Beberapa peristiwa yang terjadi selama Mi’raj
a.
Sampai di Sidrat al Muntaha
Sidrat al Muntahā berasal dari kata sidrah
dan muntaha. Sidrah adalah pohon Bidara, sedangkan muntaha
berarti tempat berkesudahan, sebagaimana kata ini dipakai dalam ayat berikut:
Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan
bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan
(segala sesuatu). (An-Najm, 53:41-42) Dengan demikian, secara bahasa Sidrat al Muntahā berarti pohon Bidara
tempat berkesudahan. Disebut demikian karena tempat ini tidak bisa dilewati
lebih jauh lagi oleh manusia dan merupakan tempat diputuskannya segala urusan
yang naik dari dunia di bawahnya maupun segala perkara yang turun dari atasnya.
Istilah ini disebutkan sekali dalam Al Qur’an, yaitu pada ayat: ...(yaitu)
di Sidratil Muntaha. (An-Najm,
53:14)
Sidrat al Muntahā digambarkan sebagai Pohon Bidara yang sangat
besar, tumbuh mulai Langit Keenam hingga Langit Ketujuh. Dedaunannya sebesar
telinga gajah dan buah-buahannya seperti bejana batu, sebagaiman Hadis ; Dari
Anas bin Malik, dari Malik bin Sha'sha'ah, dari Nabi. Diapun menyebutkan hadits
Mi'raj, dan di dalamnya: "Kemudian aku dinaikkan ke Sidratul Muntaha".
Lalu Nabi mengisahkan: "Bahwasanya
daunnya seperti telinga gajah dan bahwa buahnya seperti bejana batu".
Hadits telah dikeluarkan dalam ash Shahihain dari hadits Ibnu Abi Arubah.
Hadits riwayat Baihaqi (1304). Asal
hadits ini ada pada riwayat Bukhari (3207)
dan Muslim (164).
Jika
Allah memutuskan sesuatu, maka "bersemilah" Sidrat al Muntahā sehingga diliputi oleh sesuatu, yang menurut
penafsiran Ibnu Mas'ud ra, adalah "permadani
emas". Deskripsi tentang Sidrat
al Muntahā dalam hadits-hadits tentang Isra
Mi'raj tersebut menurut sebagian ulama hanyalah berupa gambaran (metafora) sebatas yang dapat
diungkapkan kata-kata.
b.
Melihat Allah
Untuk
hal ini terdapat beda pendapat di kalangan ulama, apakah Nabi Muhammad SAW.,
pernah melihat Tuhannya? Jika pernah apakah beliau melihatNya dengan mata
kepala atau mata hati? Masing-masing memiliki argumennya sendiri-sendiri. Di
antara yang berpendapat bahwa beliau pernah melihatNya dengan mata hati antara
lain Baihaqi, Al Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, dan Syaikh al Albani dalam
tahqiq beliau terhadap Syarah Aqidah ath-Thahawiyah. Salah satu
argumentasi mereka adalah hadits ;
Dari Abu Dzar, ia
berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah "Apakah paduka melihat Tuhan paduka?". Ia menjawab: "Cahaya, Bagaimanakah aku melihat-Nya?" Hadits riwayat Muslim (178.1), Kitab Al
Iman, Bab Tentang Sabdanya "Bahwasanya
aku melihatNya sebagai cahaya" dan Tentang Sabdanya "Aku telah melihat cahaya"
Dari
Abdullah bin Syaqiq, ia telah bersabda: Aku bertanya kepada Abu Dzar: "Seandainya aku melihat Rasulullah,
pasti aku akan menanyainya." Lantas dia berkata: "Tentang sesuatu apa?" Aku akan menanyainya: "Apakah baginda melihat Tuhan
baginda?" Abu Dzar berkata: "Aku
telah menanyainya, kemudian beliau jawab: “Aku telah melihat cahaya”. Hadits riwayat Muslim (178.2), Kitab
al-Iman, Bab Tentang Sabdanya "Bahwasanya
aku melihat-Nya sebagai cahaya" dan Tentang Sabdanya "Aku telah melihat cahaya".
c.
Melihat sosok asli Malikat Jibril
Dikatakan bahwa Muhammad telah melihat wujud asli dari Malaikat Jibril yang
memiliki sayap sebanyak 600 sayap. “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat
Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (An-Najm 53:13)
Asy-Syaibani
berkata: Aku menanyai Zirr bin Hubaisy tentang firman Allah Azza wa Jalla,
maka jadilah dia dekat dua ujung busur
panah atau lebih dekat (an-Najm, 53: 9). Dia menjawab: "Telah mengabariku Ibnu Mas'ud bahwasanya Nabi telah melihat
(bentuk asli) Jibril. Ia memiliki enam ratus sayap." Hadits riwayat Muslim (174), Kitab Iman,
Bab tentang Penyebutan Sidratul Muntaha.
d.
Menerima Perintah Shalat
Di
Sidrat al Muntahā ini Nabi Muhammad SAW., mendapatkan perintah salat 5 waktu. Perintah
melaksanakan salat tersebut pada awalnya adalah 50 kali setiap harinya, akan
tetapi karena pertimbangan dan saran Nabi Musa serta permohonan Nabi Muhammad SAW., sendiri, serta kasih dan
sayang Allah, jumlahnya menjadi hanya 5 kali saja. Diantara hadits mengenai hal
ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud ;
Dari Ibnu Abbas, ia
telah berkata: "Nabi kalian
diperintah lima puluh kali salat (sehari semalam), kemudian beliau meminta
keringanan Tuhan kalian agar menjadikannya lima kali salat." Hadits
riwayat Ibnu Majah (1400) dengan redaksi di atas, dan Ahmad (2884). Menurut Al Albani, hadits ini hasan lighairih.
Dari Abdullah bin Mas'ud, ia telah berkata: "Ketika Rasulullah diisra’kan, beliau
berakhir di Sidratul Muntaha (yang bermula) di langit keenam. Ke sanalah
berakhir apa-apa yang naik dari bumi, lalu diputuskan di sana. Dan ke sana
berakhir apa-apa yang turun dari atasnya, lalu diputuskan di sana."
Ia berkata: "Kemudian
Rasulullah diberi tiga hal: Diberi salat lima waktu dan diberi penutup Surah
al-Baqarah serta diampuni dosa-dosa besar bagi siapapun dari umatnya yang tidak
menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun". HR Muslim (173) dengan redaksi di atas, At Tirmidzi (3276), An Nasai
(451), dan Ahmad (3656 & 4001).
5.
Pendekatan Rasional
Kaum empirisis
dan rasionalis, yang melepaskan diri dari bimbingan wahyu, dapat saja
menggugat: Bagaimana mungkin kecepatan, yang bahkan melebihi kecepatan cahaya,
kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui oleh
Muhammad saw. tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang merusak tubuh
beliau sendiri? Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan diri dari daya tarik
bumi? Ini tidak mungkin terjadi, karena ia tidak sesuai dengan hukum-hukum
alam, tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, bahkan tidak dapat dibuktikan
oleh patokan-patokan logika. Demikian kira-kira kilah mereka yang menolak
peristiwa ini.
Dalam kumpulan ayat-ayat yang
mengantarkan uraian Al Qur’an tentang peristiwa Isra' Mi'raj ini, dalam QS. Al Isra' sendiri, berulang kali ditegaskan tentang keterbatasan pengetahuan
manusia serta sikap yang harus diambilnya menyangkut keterbatasan tersebut.
Simaklah ayat-ayat berikut: Dia (Allah) menciptakan apa-apa (makhluk) yang kamu
tidak mengetahuinya (QS 16:8); Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui (QS 16:74); dan Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali sedikit
(QS 17:85); dan banyak lagi lainnya. Itulah sebabnya, ditegaskan oleh Allah
dengan firman-Nya: Dan janganlah kamu mengambil satu sikap (baik berupa ucapan
maupun tindakan) yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang hal tersebut;
karena sesungguhnya pendengaran, mata, dan hati, kesemuanya itu kelak akan
dimintai pertanggungjawaban (QS 17:36).
Apa yang ditegaskan oleh Al Qur’an
tentang keterbatasan pengetahuan manusia ini diakui oleh para ilmuwan pada abad
ke-20. Schwart, seorang pakar matematika kenamaan Prancis, menyatakan: "Fisika abad ke-19 berbangga diri
dengan kemampuannya menghakimi segenap problem kehidupan, bahkan sampai kepada
sajak pun. Sedangkan fisika abad ke-20 ini yakin benar bahwa ia tidak
sepenuhnya tahu segalanya, walaupun yang disebut materi sekalipun." Sementara
itu, teori Black Holes menyatakan bahwa "pengetahuan
manusia tentang alam hanyalah mencapai 3% saja, sedang 97% selebihnya di luar
kemampuan manusia."
Kalau demikian, seandainya, sekali
lagi seandainya, pengetahuan seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman
secara ilmiah atas peristiwa Isra’ Mi’raj ini; kalau betul demikian adanya dan sampai saat ini masih
juga demikian, maka tentunya usaha atau tuntutan untuk membuktikannya secara "ilmiah" menjadi tidak ilmiah
lagi. Ini tampak semakin jelas jika diingat bahwa asas filosofis dari ilmu
pengetahuan adalah trial and error, yakni observasi dan eksperimentasi terhadap
fenomena-fenomena alam yang berlaku di setiap tempat dan waktu, oleh siapa
saja. Padahal, peristiwa Isra’ Mi’raj hanya terjadi sekali saja. Artinya, terhadapnya tidak dapat
dicoba, diamati dan dilakukan eksperimentasi.
6.
Pendekatan Iman
Pendekatan yang paling tepat untuk
memahaminya adalah pendekatan imaniy. Inilah yang ditempuh oleh Abu Bakar Ash
Shiddiq, seperti tergambar dalam ucapannya: "Apabila
Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah adanya." Oleh sebab itu,
uraian ini berusaha untuk memahami peristiwa tersebut melalui apa yang kita
percayai kebenarannya berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang dikemukakan oleh Al
Qur’an.
Dengan pendekatan imany inilah akal
harus siap menerima hal-hal yang tidak ilmiah. Sebab seperti dikatakan oleh Syeikh
Sya’rawi, da’i terkemuka Mesir: Al-îmânu qad yufhamu wa qad lâ yufhamu (masalah-masalah
keimanan terkadang dapat dipahami dan terkadang tidak).
Kita percaya kepada Isra’
Mi’raj selama semua itu diciptakan serta
berada di bawah kekuasaan dan pengaturan Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu hal
yang menjadi pusat pembahasan Al Qur’an adalah masa depan ruhani manusia demi
mewujudkan keutuhannya.
Sebelum Al Qur’an mengakhiri
pengantarnya tentang peristiwa ini, dan sebelum diungkapnya peristiwa ini,
digambarkannya bagaimana kelak orang-orang yang tidak mempercayainya dan
bagaimana pula sikap yang harus diambilnya. Allah berfirman: Bersabarlah wahai
Muhammad; tiadalah kesabaranmu melainkan dengan pertolongan Allah. Janganlah
kamu bersedih hati terhadap (keingkaran) mereka. Jangan pula kamu bersempit
dada terhadap apa-apa yang mereka tipudayakan. Allah beserta orang-orang yang
bertakwa dan orang orang yang berbuat kebajikan. (QS 16:127-128). Inilah
pengantar Al Qur’anyang disampaikan sebelum diceritakannya peristiwa Isra' dan Mi'raj.
7.
Makna Isra’ Mi’raj terhadap Keimanan Manusia
Agaknya, yang
lebih wajar untuk dipertanyakan bukannya bagaimana Isra’ Mi’raj terjadi, tetapi mengapa Isra’ Mi’raj terjadi. Karena
itu, dalam kelompok ayat yang menceritakan peristiwa ini (dalam QS. Al-Isra'),
ditemukan sekian banyak petunjuk untuk membina diri dan membangun masyarakat.
Pertama, ditemukan petunjuk untuk
melaksanakan shalat lima waktu QS. Al Isra’ 78. Dan shalat ini pulalah yang
merupakan inti dari peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, karena shalat pada
hakikatnya merupakan kebutuhan mutlak untuk mewujudkan manusia seutuhnya,
kebutuhan akal pikiran dan jiwa manusia, sebagaimana ia merupakan kebutuhan
untuk mewujudkan masyarakat yang diharapkan oleh manusia seutuhnya. Shalat dibutuhkan
oleh pikiran dan akal manusia, karena ia merupakan pengejawantahan dari
hubungannya dengan Tuhan, hubungan yang menggambarkan pengetahuannya tentang
tata kerja alam raya ini, yang berjalan di bawah satu kesatuan sistem. Shalat
juga menggambarkan tata inteligensia semesta yang total, yang sepenuhnya
diawasi dan dikendalikan oleh suatu kekuatan Yang Mahadahsyat dan Maha
Mengetahui. Dan bila demikian, maka tidaklah keliru bila dikatakan bahwa
semakin mendalam pengetahuan seseorang tentang tata kerja alam raya ini, akan
semakin tekun dan khusyuk pula ia melaksanakan shalatnya.
Shalat juga merupakan kebutuhan
jiwa. Karena, tidak seorang pun dalam perjalanan hidupnya yang tidak pernah
mengharap atau merasa cemas. Hingga, pada akhirnya, sadar atau tidak, ia menyampaikan
harapan dan keluhannya kepada Dia Yang Maha Kuasa. Dan tentunya merupakan tanda
kebejatan akhlak dan kerendahan moral, apabila seseorang datang menghadapkan
dirinya kepada Tuhan hanya pada saat dirinya didesak oleh kebutuhannya.
Shalat juga dibutuhkan oleh masyarakat manusia, karena
shalat, dalam pengertiannya yang luas, merupakan dasar-dasar pembangunan.
Karena itu, Alexis Carrel menyatakan: "Apabila
pengabdian, shalat, dan doa yang tulus kepada Sang Maha Pencipta disingkirkan
dari tengah kehidupan bermasyarakat, maka hal itu berarti kita telah
menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut."
Apa yang dinyatakan ilmuwan ini sejalan dengan penegasan Al
Qur’an yang ditemukan dalam pengantar uraiannya tentang peristiwa Isra' dalam surat Al-Nahl ayat 26. Di
situ digambarkan pembangkangan satu kelompok masyarakat terhadap petunjuk Tuhan
dan nasib mereka menurut ayat tersebut: Allah menghancurkan bangunan-bangunan
mereka dari fondasinya, lalu atap bangunan itu menimpa mereka dari atas; dan datanglah
siksaan kepada mereka dari arah yang mereka tidak duga (QS 16:26).
Kedua, petunjuk-petunjuk lain yang
ditemukan dalam rangkaian ayat-ayat yang menjelaskan peristiwa Isra’
Mi’raj,
dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat adil dan makmur,
antara lain adalah: Jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami
perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mereka
menaati Allah untuk hidup dalam kesederhanaan), tetapi mereka durhaka; maka
sudah sepantasnyalah berlaku terhadap mereka ketetapan Kami dan Kami hancurkan
negeri itu sehancur-hancurnya (QS 17:16).
Ditekankan dalam surat ini bahwa "Sesungguhnya orang yang hidup berlebihan adalah saudara-saudara
setan" (QS 17:27). Dan karenanya, hendaklah setiap orang hidup dalam
kesederhanaan dan keseimbangan: Dan
janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu (pada lehermu dan sebaliknya),
jangan pula kamu terlalu mengulurkannya, agar kamu tidak menjadi tercela dan
menyesal (QS 17:29).
Bahkan, kesederhanaan yang dituntut bukan hanya dalam bidang
ekonomi saja, tetapi juga dalam bidang ibadah. Kesederhanaan dalam ibadah
shalat misalnya, tidak hanya tergambar dari adanya pengurangan jumlah shalat
dari lima puluh menjadi lima kali sehari, tetapi juga tergambar dalam petunjuk
yang ditemukan di QS. Al Isra' ini juga, yakni yang berkenaan dengan suara
ketika dilaksanakan shalat: Janganlah
engkau mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya,
tetapi carilah jalan tengah di antara keduanya (QS 17: 110).
Jalan tengah di antara keduanya ini berguna untuk dapat
mencapai konsentrasi, pemahaman bacaan dan kekhusyukan. Di saat yang sama,
shalat yang dilaksanakan dengan "jalan tengah" itu tidak
mengakibatkan gangguan atau mengundang gangguan, baik gangguan tersebut kepada
saudara sesama Muslim atau non-Muslim, yang mungkin sedang belajar, berzikir,
atau mungkin sedang sakit, ataupun bayi-bayi yang sedang tidur nyenyak. Mengapa
demikian? Karena, dalam kandungan ayat yang menceritakan peristiwa ini, Tuhan
menekankan pentingnya persatuan masyarakat seluruhnya. Dengan demikian,
masing-masing orang dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya, sesuai dengan
kemampuan dan bidangnya, tanpa mempersoalkan agama, keyakinan, dan keimanan
orang lain. Ini sesuai dengan firman Allah: Katakanlah
wahai Muhammad, "Hendaklah tiap-tiap orang berkarya menurut bidang dan
kemampuannya masing-masing." Tuhan lebih mengetahui siapa yang lebih benar
jalannya (QS 17:84).
8.
Hikmah
a. Peristiwa Isra’ Mi’raj membuktikan kekuasaan
Allah yang tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Akan muncul sederet
keberatan ilmiah jika kita mencoba mendekatinya dengan ilmu pengetahuan.
Semestinya kita menyisakan ruang dalam hati untuk mempercayai dan mengimaninya.
b. Peristiwa Isra’ Mi’raj hanya
dapat diterima dengan keyakinan yang mendalam bahwa hal itu benar-benar terjadi
atas dasar kekuasaan Allah yang diinformasikanNya dalam Al Qur’an, sedang apa
yang termaktub dalam Al Qu’an adalah haq keadaanya.
c. Peristiwa Isra’ Mi’raj yang
bernuansa ruhaniah itu mendorong manusia untuk melakukan hubungan dengan Allah
secara intim melalui ritual shalat dan membangun persaudaraan antara manusia
dengan seluruh mahluk, karena shalat diantaranya mempunyai fungsi menahan yakni
menjadikan manusia untuk tidak melakukan aneka keburukan yang akan menjatuhkan nilai harkat dan
martabatnya sebagai mahluk tersempurna.
d. Peristiwa Isra’ Mi’raj adalah
sebuah ujian keimanan. Manusia tidak hanya ditantang dengan tanda-tanda
kekuasaan Tuhan yang tampak, tetapi Tuhan juga menyodorkan tantangan-Nya berupa
tanda-tanda kekuasaan yang jauh di luar jangkauan manusia.