Sabtu, 23 November 2013

Bercermin Pada Kaum Mu`tazilah


BERCERMIN PADA KAUM MU'TAZILAH
DALAM MEMAHAMI AJARAN DASAR ISLAM SECARA RASIONAL

Secara umum, Islam sebagai suatu sistem ajaran dapat dikategorikan menjadi dua bagian; Aqidah dan Syari'ah. Pada bagian pertama (aqidah) sistem ajaran Islam terfokus pada persoalan-persoalan dasar ajaran Islam, misalnya mengenai tuhan, rasul, hari akhir dsb. Bagian ini adalah prinsip-prinsip Islam. Pada bagian kedua, ajaran Islam banyak berkaitan hubungan dengan hal-hal teknis operasinal ketika seseorang menjalani hidup, misalnya ibadah ritual dan sejumlah aturan yang berhubungan dengan kehidupan pribadi atau sosial, atau privat dan umum . Kalau dikaitkan dengan pembagian yang  kemukakan ulama lain, pada bagian kedua ini, ajaran Islam dibagi lagi menjadi empat macam permasalahan; Ibadah, Muna'kahah, Muamalah Dan Jina'yah. Beberapa ulama memberikan istilah lain pada bagian pertama, yaitu ajaran-ajaran dasar Islam, misalnya Teologi, Ushuluddin, atau Kalam.
Dalam perjalanan sejarah umat Islam, pembahasan mengenai ajaran-ajaran yang menyangkut aqidah telah menjadi suatu permasalahan yang sangat serius. Hal ini terjadi bukan saja karena masalah tersebut dianggap rumit dan abstrak sehingga para ulama dituntut keras untuk menjabarkannya secara jelas, tetapi permaslahan ini juga sangat dianggap penting karena akan terkait dengan sikap muslim dengan orang lain yang dianggap non-muslim. Ini menuntut sebuah pendefenisian yang tidak ambingu atau kabur antara muslim dan non muslim Dalam konteks sosial permasalahan ini kerapkali menimbulkan berbagai peristiwa kekerasan... Adanya kekerasan yang pada zaman tertentu telah menimbulkan perang bersaudara, factor utamanya adalah suatu fakta bahwa sering suatu aliran dengan pahamnya erat terkait dengan kepentingan politik. Akibatnya, orang lain yang tidak sepaham identik menjadi lawan politik. Konsekuensinya adalah harus disingkirkan oleh penguasa tertentu . Atau penguasa sendiri harus dijatuhkan.  
Kalau kembali pada sejarah, paling tidak tercatat ada empat aliran pemikiran yang saling bergulat dalam menjabarkan ajaran-ajaran dasar Islam yang kesemuanya merasa diri bahwa mereka paling benar, Kh'awarij, Murji'ah, Mu'tazilah, Maturudiyah dan Al-Asa'riyah. Aliran yang paling mencolok dalam keterkaitannya dengan kepentingan-kepentingan politik adalah, Al-Asa'riyah dan Mu'tazilah. Mu'tazilah didukung oleh kekuatan politik dinasti Abbasiyah sedangkan al-As'ariyah erat terkait denagn gerakan penentang kebijakan-kebijakan diansti Abb'asiah yang sedang memerintah dunia muslim saat itu.

Sejarah mencatat bahwa umat Islam mengalami kemajuan peradaban [jaman keemasan Islam], khususnya di bidang ilmu pengetahuan seperti kedokteran, astronomi dan arsitektur ketika kekhalifahan berada di bawah kekuasaan dinasti Abasiyyah, tepatnya ketika Harun al-Rasyid memimpin pemerintahan. Kemajuan ini tentunya tidak mungkin terwujud apabila kebebasan mansuia untuk berpikir dan mengadakan penelitian-penelitian ilmiah dikekang. Dalam konteks ini, Mu'tazilah sebagai suatu aliran yang mengedepankan pemikiran rasional, khususnya dalam memahami ajaran-ajaran dasar Islam adalah factor lain yang menyebabkan terjadinya kemajuan peradaban dalam dunia Islam.

Tidak salah kalau atas dasar itu, maka mengkaji kembali secara mendalam, kritis dan komprehensip  mengenai Mu'tazilah sebagai sebuah aliran pemikiran Islam dengan cara pandang baru menjadi suatu kemestian untuk mengingkatkan peradaban umat Islam hari ini. Cara pandang baru tersebut adalah mengkaji kembali Mu'tazilah dari sisi corak pemikiran, bukan pada aspek sejarahnya, karena hal itu telah telah relatif selesai dilakukan umat Islam terdahulu. Ketika suatu pengkajian terus-menerus dipaksakan pada aspek sejarah, maka yang akan timbul adalah romantisme sejarah. Apalagi kondisi umat Islam yang sekarang sedang mengalami keterbelakangan, maka besar kemungkinan hal ini akan terjadi.

Sejarah Mu`tazilah

Mu`tazilahberkembang pesat pada akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, yaitu ketika mazhab ini mereka mendapat dukungan kuat dari Pangeran Yazid bin al-Walid. Mulanya pada saat ayah Pangeran Yazid bin al-Walid, yaitu Khalifah al Walid (125—-126 H) memerintah secara semena-mena dan menunjukkan perilaku yang melampaui batas, ia kerap berpestapora dan mabuk-mabuknya. Pangeran Yazid bin al-Walid kemudian mengibarkan bendera pemberontakan, Yazid merasa perlu melakukan pemberontakan karena dalam paham Mu`tazilahyang diyakininya, seseorang harus melaksanakan kebaikan dan menjauhi kejahatan (amar ma’ruf nahy munkar). Lalu dengan pasukan tentara yang besar yang ke­banyakan terdiri dari para pengikut Mu’tazillah, dia menyerang ayahnya. Sang Khalifah, al-Walid,  kemudian dimasukkan ke dalam penjara dan dihukum mati, Pangeran Yazid bin al-Walid mengambil alih kekuasaan.
Dengan berkuasa­nya Yazid, aliran Mu’tazillah memperoleh kekuatan, sehingga tumbuh dengan subur. Perlu ditambahkan bahwa ‘Amr bin ‘Ubaid –salah seorang ulama Mu`tazilahsaat itu-- turut serta memimpin pem­berontakan itu.
Mu’tazillah terus berkembang dengan pesatnya di bawah perlindungan Barmakid pada zaman rejim Abbasiyah, walaupun Harun al-Rasyid sendiri menentangnya. Terhadap aliran itu terdapat dua orang pendukung yang tangguh dari ulama terpelajar, yaitu, Abul Hudzail dan Ibrahim bin Sayyar Nazzam. Abul Hudzail adalah pengarang buku-buku (beberapa di antaranya disebutkan di dalam buku karya Ibnu an-Nadim, Fihrist, seperti buku Penyangkalan Kaum Zindiq. Penyangkalan Kaum Dualis, Penyangkalan Kaum Aliterialis, dan sebagai­nya) yang berusaha mempopulerkan aliran itu di antara para ulama dan pemikir Islam. Dia memiliki ilmu pengetahuan agama dan ilmu filsafat yang luas. Pernyataannya tegas, metoda argumentasinya jarang mengalami kegagalan dalam meyakinkan orang lain sekalipun musuhnya yang paling keras. Yang kedua (yaitu Nazzam) adalah salah seorang murid Abul Hudzail, dia meneruskan tugas guru besarnya. Dia benar-benar seorang ilmuwan yang bukan saja ahli dalam ilmu filsafat tetapi juga dalam studi kitab-kitab suci agama lain.
Pengganti Khalifah Harun Al-Rasyid, yaitu Ma’mun al-Rasyid merupakan pendukung utama  Mu’tazillah yang cukup gigih. Dalam kekuasaannya, Mu`tazilahmenjadi mazhab negara dan membuat aliran ini me­nyebar ke seluruh penjuru kerajaan Islam. Khalifah Ma’mun al-Rasyid sendiri mengikuti prinsip-prinsip aliran itu dan ajaran-ajaran­nya serta berusaha memantapkannya. Disamping itu Khalifah Ma’mun al-Rasyid  membentuk kelompok debat yang besar, yang anggota-anggotanya terdiri dari ilmuwan dari semua kepercayaan dan aliran, dan dia sendiri turut serta pada kelompok itu. Menurut catatan mengenai masa itu, sarjana-sarjana non-Muslim yang menyerang ajaran­-ajaran Islam dengan senjata filsafat diundang, mereka diajak berdebat saling menyerang dan mempertahankan keyakinan dan pengetahuannya. Konon, saat itu termasuk Yazdan Bakht, pe­mimpin Sekte Maniceanisme, diundang untuk berdebat dengan Abul Hudzail, dan saat itu Yazdan Bakht dikalahkan secara memalukan.
Setelah Ma’mun, dua khalifah Baghdad berikut­nya, yaitu, al Mu’tashim dan al-Wathiq memperlaku­kan golongan rasionalis itu dengan baik. Qadi Ahmad bin Dawud, seorang ulama Mu’tazilah yang menjabat ketua peradilan Kerajaan Islam selama masa pe­merintahan kedua khalifah tersebut, menyebarkan prinsip-prinsip Mu’tazilah ke seluruh wilayah hukumnya. Dengan demikian aliran ini torus ber­kembang, dan di dalam abad keempat Hijriah, tafsir al-Qur’an disusun oleh orang-orang Mu’tazillah menurut dasar akal.
Setelah Khalifah al-Wathiq meninggal, hampir semua khalifah menentang aliran Mu’tazillah, dan beberapa di antaranya melakukan penyiksaan ter­hadap para pengikut Mu’tazillah hanya karena mereka pengikut paham rasio (Rasionalis). Karena tindakan penekanan dari pemerintah itulah, maka dilakukanlah cara moderat oleh Abul Hasan al-Asy’ari yang menggabungkan pola pemikiran salaf (non-rasional) dengan pola pemikiran Mutazilah. Pemikiran Asyariyah berkembang pesat dan menggantikan pemikiran Mutazilah. Dalam jangka waktu satu setengah abad aliran Mu’tazillah menjadi tidak populer.

Pemikiran Mutazilah

Pemikiran Mu`tazilah selain berhadapan dengan permasalahan kalam yang telah dimunculkan Khawarij, Murji`ah, Jabariyah dan Qadariyah; juga berhadapan dengan masalah-masalah baru dari pemikiran luaran. Dalam hubungannya dengan pemikiran kalam sebelumnya, Mu`tazilahmemberikan pemikiran baru, yaitu:
1)      Mu`tazilah percaya bahwa iman terkait dengan pengetahuan, dan pengetahuan itu didapatkan melalui rasio spekulatif. Pada tahap ini sama dengan pemikiran Murji`ah.
2)      Mu`tazilah percaya bahwa iman dapat menaik dan menurun (ini berbeda dari Murji`ah)
3)      Mutazilah, sebagaimana juga Murji`ah, tidak mau menyebut pendosa besar sebagai kafir atau juga sebagai seorang mukmin. Pendosa besar juga tidak secara otomatis dimasukkan ke dalam neraka.

Sedang dalam hubungannya dengan pemikiran luar, Mu`tazilah melakukan proses apropriasi, atau ada juga yang ditolak sama sekali. Pemikiran Hermetis dan Manicean yang menganggap “tidak adanya sifat-sifat Tuhan”, misalnya, mempengaruhi pemikiran Mutazilah. Bagi pemikir Mutazilah, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat. Pemikiran mengenai akal sebagai pancaran dari diri Tuhan, dari Neoplatonisme, rupanya juga mempengaruhi pemikiran Mu`tzailah yang menegaskan bahwa akal adalah piranti dalam diri manusia yang memberi petunjuk bagi kebebasannya. Dalam kaitannya dengan pemikiran luaran ini, Mu`tazilah memiliki pemikiran mengenai 1) Keadilan Tuhan dan Kebebasan Manusia; 2) Penciptaan al-Quran dan Iman

Iman dan Perbuatan

Bagaimana konsepsi Mu’tazilah mengenai hubungan iman dengan perbuatan? Jika merunut pada pemikiran Wasil bin Atha, jawabannya sangat sederhana, yaitu bahwa pendosa besar itu tidak bisa disebut tetap beriman sekaligus juga tidak dapat dikatakan telah kafir. Pendosa besar itu disebut fasik, yang akan ditempatkan di antara surga dan neraka (manzilat bayn al-manzilatayn).
Perbuatan amatlah penting sebagai bentuk kepatuhan dari iman yang telah diyakini seseorang. Kepatuhan merupakan suatu ‘tiang’ dan esensi nyata iman, sehingga siapa pun yang menga­baikannya maka dapat dikatakan bahwa dia bukanlah seorang yang beriman. Kepatuhan dalam tindakan dengan demikian menjadi salah satu bagian dari tindak iman. Tetapi pertanyaan lain muncul, apakah perbuatan itu bagi Mu`tazilah merupakan syarat perlu bagi keimanan?
Dalam diri kelompok Mu`tazilah ada kelompok pemikir yang menyatakan bahwa “ketidakpatuhan akan menyebabkan seorang muslim masuk ke dalam Neraka bersama dengan orang kafir dan mereka tinggal di dalamnya selama-lamanya, dan bahwa walaupun hanya satu tindakan kepatuhan yang dilalaikan, cukuplah untuk ditolaknya iman seseorang”. Kelompok ini disebut sebagai Wa’idiyyah, atau pengancam.
Pemikir lain dari Mu`tazilah, al-Sharif al-­Murtada mengung­kapkan pernyataan yang berbeda, tidak seekstrem kelompok Waidiyyah. al-Sharif al-Murtada menyatakan:
“Kita tidak dapat menjadi seorang yang percaya tanpa ‘melakukan perbuatan’, tetapi ‘melakukan perbuatan ’ saja tidak dapat membuat orang masuk Surga.”
Untuk memperjelas pendiriannya ini, Murtada menuliskan komentar terhadap sebuah hadits berikut:

Hadist ini diriwayatkan oleh  Abu Hurayrah: Nabi) pernah bersabda, ‘Apa pun yang dilakukan oleh seseorang tidak akan membuatnya masuk Surga, mau­pun menyelamatkannya dari Neraka.’ Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi, ‘Bahkan anda sendiri, ya Nabi Tuhan?’ Beliau men3awab, ‘Tidak tere­cuali aku’ (dan kemudian menambahkan) ‘Kecuali jika Tuhan memberiku kasih dan rida-Nya.’ Beliau mengulangi kalimat terakhir ini tiga kali.”
(Penje­lasan dari Murtada:) Hal terpenting dan Hadits ini menjelaskan bahwa semua manusia yang secara legal bertanggung jawan (tidak bersifat independen, tetapi) akan memerlukan Tuhan, sehingga mereka membutuhkan rida Tuhan, pertolongan dan bantuan-Nya. Hadits ini juga mencoba menunjukkan bahwa jika Tuhan tidak bersedia untuk memberikan pertolongan dan rida-Nya kepada manusia, meninggalkan manusia seorang diri, maka manusia itu tidak akan pernah dapat masuk Surga dan melepaskan dirinya dari Neraka dengan ‘amalnya. Oleh karena itu, (bagian pertama dari Hadits ini) harus dipahami dalam pengertian bahwa manusia tidak akan pernah masuk Surga dengan perbu­atannya yang dilakukannya tanpa pertolongan, rida, dan petunjuk Tuhan.

Sementara pemikir Mu’ta­zilah lain, Zamakhshar memberikan komentar atas Surah X ayat 98 mengatakan: “Ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa jenis iman yang mendapatkan bimbingan Ilahi, bantuan serta cahaya-Nya pada Hari Kiamat adalah iman yang dikhususkan oleh suatu kondisi, yaitu iman yang disertai dengan perbuatan  baik, dengan menunjukkan bahwa seorang manusia yang imannya tidak disertai dengan perbuatan  baik tidak akan diberi pertolongan maupun cahaya Ilahi”. Kemudian Zamakhsari menegaskan bahwa, “Seseorang yang tidak mempunyai keyakinan hati  maka dia adalah munafik, yang dalam hal ini, dia mungkin memberikan kesaksian secara verbal [bahwa dia beriman] dan melakukan perbuatan  baik. Orang yang tidak melakukan pengakuan verbal disebut kafir, sementara orang yang tidak ‘melakukan perbuatan ’ dikatakan orang yang  fasiq”.
Perbuatan rupanya menjadi bagian dari syarat iman, namun bukan sebagai syarat perlu; atau bukan sebagai esensi iman. Perbuatan hanyalah pelengkap, atau penyempurna dari pengetahuan, tasdiq, yang telah dimiliki seseorang. Inti iman adalah tashdiq, sementara tindakan merupakan pelengkap yang menegaskan kondisi keimanan dalam hati. Konsekuensi dari konsepsi ini, perbuatan sebagai pelengkap saja, adalah bahwa pendosa besar tidak secara otomatis disebut sebagai kafir.  Dosa besar terkait dengan tindakan fisik yang menyimpang dari aturan, sedang iman merupakan peristiwa ruhaniah (pengetahuan). Seseorang yang berdosa besar, tidak secara otomatis menunjukkan bahwa dirinya tidak lagi beriman. Paling-paling itu semua menunjukkan bahwa daya pegetahuan imannya tidak lagi memiliki daya untuk menggerakkan diri pada tindakan yang baik (menuruti seruan amar ma`ruf nahy munkar).
Namun ada persoalan lain dari pendapat Abdul Jabbar yang meyakini bahwa iman itu bisa naik dan turun:
“Sudah ditentukan bahwa semua yang kita sebut sebagai iman bisa meningkat dan menurun, karena kewajiban agama dilakukan oleh sebagian hamba lebih besar ketimbang (yang dilakukan) oleh yang lain, dan sebagian lagi melakukan lebih banyak ketimbang yang lain.”
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa yang menjadi pengukur naik turunnya iman adalah ketaatan melakukan kewajiban agama. Tindakan menjadi pengukur tingkat keimanan. Jika demikian bisakah dikatakan bahwa tindakan merupakan esensi (atau syarat perlu) dari iman?
            Menurun dan menaiknya iman karena tindakan tidak berarti bahwa tindakan merupakan syarat perlu bagi iman. Jika a menjadi syarat perlu bagi x, maka tidak adanya a akan berarti tidak adanya x; sementara jika b menjadi syarat cukup bagi x, maka ketiadaan b hanya berarti bahwa x tidak tampil sempurna (menurun). Dalam hal ini, dapat ditegaskan bahwa konsepsi “menurun dan menaiknya” iman lewat tindakan merupakan pernyataan implisit, bahwa tindakan hanyalah syarat cukup dan bukan yang esensi bagi iman. Dengan kata lain, istilah “menaik menurun” merupakan petunjuk bahwa iman itu tidak pernah menghilang, sedosa apapun seseorang iman tak bisa menghilang; paling-paling hanya menurun. Iman dengan demikian terkait dengan tashdiq dalam arti pengetahuan.

Batas-Batas Iman dan Pengetahuan

            Jika iman adalah pengetahuan, atau jika iman disebabkan oleh adanya pengetahuan; pertanyaannya adalah (1) dari mana pengetahuan itu didapatkan?  (2) apa sajakah obyek pengetahuannya? (3) bagaimana posisi wahyu?
            Tentang persoalan ini, Mu`tazilahmengemukakan bahwa akal spekulatiflah yang mengantarkan kita pada iman. Jadi jika ada pertanyaan, dengan melalui apakah manusia mengetahui Tuhan? Mu`tazilahmenjawab, dengan akal. Akal adalah kekuatan yang dimiliki oleh semua manusia untuk berpikir logis.
Qadi Abdul Jabbar meyakini bahwa pengetahuan melalui akal dapat mengantarkan kita pada kesadaran akan adanya Tuhan. Alasan yang mendasarinya adalah hierarki daya pengetahuan manusia. Manusia secara memiliki tiga daya untuk mengetahui, indera, rasio dan intuisi. Bagi Abdul Jabbar, indra tidak mungkin membayangkan Tuhan demikianpun dengan intuisi. Tuhan hanya dapat diketahui melalui refleksi dan spekulasi. Akal menuntun manusia untuk menemukan kesimpulan bahwa ada Tuhan yang menjadi sumber bagi kehidupan. Kemudian melalui bukti-bukti dalam kenyataan kehidupan manusia dapat meneruskan temuan pengetahuannya mengenai segala hal mengenai Tuhan bahkan mengenai apa yang wajib dilakukan oleh manusia. Untuk memperjelas, berikut dikutipkan pemikiran Qadi Abdul Jabbar:
Kemudian kalau ditanyakan: Apakah bukti yang bisa membuat nalar spekulatif membawa kepada pengetahu­an tentang Tuhan?
Katakanlah kepadanya: Diriku sendiri (nafsi) dan apa yang aku lihat pada tubuh (fisik).
Kemudian kalau ditanyakan: Bagaimana diri anda sendiri bisa menjadi bukti adanya Tuhan?
Katakan kepadanya: Karena aku menemukan diriku dalam keadaan sempuma, dan mustahil bagiku untuk menciptakan sesuatu seperti diriku atau sebagian dari diriku. Jadi, a fortiori, ketika aku dalam keadaan asliku tidak bisa meneteskan sperma untuk menciptakan diriku, maka aku tahu bahwa aku memiliki pencipta dan perancang yang hebat, dan dia adalah selain aku, dan Dialah Tuhan.
Kemudian kalau ditanyakan: Bagaimana hal ini memberi bukti [adanya] Tuhan?
Katakan kepadanya: Karena aku tahu, tubuh pasti bergerak, diam, berhubungan, dan terpisah, semua itu baharu. Jadi, tubuh pasti baharu (muhdats) karena sesuatu yang fana (hawadits) tidaklah kekal.
Nah, terlihat jelas bagaimana Mu`tazilahmenegaskan pentingnya akal spekulatif sebagai pengawal terciptanya pengetahuan mengenai Tuhan dan hal ihwal mengenai-Nya.
Menurut Harun Nasution, dengan mengutip Syahrastani, bahwa obyek pengetahuan imani adalah (1) mengetahui Tuhan; (2) kewajiban mengetahui Tuhan; (3) mengetahui baik dan buruk; (4) kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat. Kemudian Harun Nasution menuliskan:
“Bagi Kaum Mu`tazilahsegala pengetahuan dapat diperoleh dengan pengantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterima kasih kepada Tuha sebelum turunnya wahyu adalah wajib. Baik dan jahat wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat, adalah pula wajib”.
Lalu bagaimana posisi wahyu?
            Fungsi wahyu bagi manusia secara umum sebagai pemberi, informasi dan konfirmasi, “memperkuat apa yang telah diketahui akal manusia dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal, dan dengan demikian menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh akal.” Dan bagi Mutazilah, wahyu dianggap lebih berperan  banyak dalam memberikan fungsi “konfirmatif ketimbang informatif”. Yang diberikan oleh wahyu itu adalah:
(1)   Memberikan penjelasan mengenai detail-detail praktis dari yang telah disimpulkan oleh akal. Misalnya, kewajiban berterima kasih pada Tuhan dapat disimpulkan oleh akal, namun cara berterima kasih diberikan oleh wahyu.
(2)   perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat
(3)   menguji manusia, siapa yang patuh siapa yang tidak patuh
(4)   mengingatkan manusia akan kelalaian  dan memperpendek jalan untuk mengetahui Tuhan
Uraian di atas mempertegas posisi Mu`tazilahdalam perkembangan Kalam. Setelah Murji`ah menggagas bahwa iman terkait dengan tashdiq dalam arti “pengetahuan”, Mu`tazilah menegaskan kelanjutannya. Yaitu, karena iman adalah tasdiq, dan tasdiq adalah pengetahuan maka akal menjadi piranti utama untuk mengetahui Tuhan dan hal ihwal menganai hubungan manusia dan Tuhan. Sementara wahyu,menurut Harun Nasution,  hanyalah pelengkap atau konfirmatif saja. Mengenai hal ini, Fazlur Rahman berbeda pendapat dengan Harun Nasution, dengan mengutip George Hourani, Rahman berpendapat bahwa akal tanpa bantuan wahyu sanggup menghasilkan etika primer, yaitu baik-buruk, wajib dan tidak wajib; sementara wahyu menghasilkan etika sekunder (yaitu bagaimana praktek dari kesadaran wajib/tidak wajib, baik/buruk). Akal semata tidak dapat menentukan tindakan-tindakan yang harus dilakukan atau dihindari agar lebih mendekati pada pencarian kehidupan etis yang benar; karena itu wahyu diperlukan sebagai rujukan.
            Akal dalam pemikiran Mu’tazilah begitu dominan, bahkan wahyu hanyalah pelengkap dan pemberi informasi etika sekunder. Pemikiran ini menyiratkan pendirian Mu`tazilah mengenai tindakan manusia, melalui akal tindakan manusia menjadi mandiri tidak tergantung pada kehendak Tuhan. Maksudnya, bila akal sanggup mengetahui apa wajib dia lakukan tentulah tindakannya itu disebabkan oleh kesadaran dirinya sendiri, bukan digerakkan oleh Tuhan.
            Jika dikaitkan dengan Rukun Iman Mutazilah [yang terdiri dari 1) Tauhid, 2) al-Waid-wal Wa’id; 3) Keadilan Ilahi, 4) Manzilah Bayn al-Manzilatayn, 5) Amar Ma’ruf Nahy Munkar], kita akan menemukan relasi logis teori iman dengan kebebasan manusia. Tuhan telah memberikan seruntut janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id) secara adil, melalui akal yang ada dalam diri manusia, orang beriman dapat menentukan sendiri jenis tindakannya. Akal menelusuri diri dan kehidupannya untuk menemukan tindakan yang tepat terhadap apa yang diimaninya. Melalui akal spekulatif manusia dapat menemukan obyek pengetahuan (Tuhan, dan kewajiban terhadap-Nya), dengan pengetahuan itu manusia tergerak untuk melakukan tindakan berdasarkan kehendaknya sendiri. Ketentuan surga dan neraka ditentukan secara adil berdasar kesesuaian antara tindakan dengan ketentuan Tuhan (al-wa’d wa al-wa’id). Jika seseorang berbuat dosa besar, sedang dalam hatinya masih ada iman, ia tak akan dimasukkan ke neraka; keadilan Tuhan akan memasykkannya ke dalam manzilat bayn al-manzilatayn.  Bila Tuhan memasukkannya ke Neraka, itu berarti Tuhan tidak adil dan mengingkari ketentuannya (bahwa hanya yang tidak beriman saja yang akan dimasukkan ke neraka). Dan agar Tuhan benar-benar Adil, Tuhan tidak akan turut campur dalam tindakan manusia, Dia akan memberi kebebasan berkehendak pada manusia.
            Lebih lengkap mengenai Keadilan Tuhan, mari kita teruskan pada konsep Keadilan dan Penciptaan Iman.

Konsep Keadilan dan Penciptaan Iman

Dari pendapat utama yang dijunjung tinggi oleh Mu’tazilah pan­tas memperoleh perhatian dalam hubungannya dengan pengaruh mereka terhadap konsep Iman. Yang pertama adalah pendapat Mu’tazilah yang khas mengenai ‘keadilan’ ‘adl Ilahi; yang kedua mengenai “al-Quran merupakan makhluk”.
Tentang Keadilan, Qadi Abdul Jabbar menulis:

Kemudian kalau ditanyakan: Terangkanlah kepadaku tentang keadilan [al-’adl] (Tuhan), apa maksud­nya?
Katakan kepadanya: ini adalah pengetahuan tentang Tuhan yang dipalingkan dari segala sesuatu yang secara moral adalah salah dan bahwa semua per­buatannya secara moral adalah baik. Ini diterang­kan oleh kenyataan bahwa semua manusia melakukan ketidak-adilan dan pelanggaran (jawr) dan hal seperti itu bukanlah ciptaan-Nya. Siapa saja yang mensifatkan ini kepada-Nya, (berarti) telah menganggap ketidakadilan dan kebiadaban berasal dari-Nya, dan demikian itu menyimpang dari doktrin keadilan.
[a] Anda tahu bahwa Tuhan tidak membebankan keimanan kepada orang kafir tanpa memberinya kekuatan untuk beriman, dan Tuhan juga tidak membebankan kepada manusia apa yang mereka tidak sanggup untuk melakukan­nya, tapi Dia hanya memberi orang kafir pilihan untuk menjadi kafir dari pihaknya dirinya sendiri, bukan dari pihak Tuhan.
[b] Dan anda tahu bahwa Tuhan tidak menghendaki, berhasrat, atau menginginkan pengingkaran. Malahan dia membenci dan menghinakan pengingkaran, dan hanya menghendaki kepatuhan yang Dia inginkan, Dia pilih, dan Dia cintai.
[c] Dan anda tahu bahwa Dia tidak menghukum anak-anak musyrik di dalam neraka karena dosa ayah mereka, karena Dia berfirman: “dan tidaklah seorang melakukan dosa melainkan resikonya kembali kepada dirinya sendiri” (Q.6: 164), dan Dia tidak akan menghukum seseorang karena dosa orang lain, karena demikian itu akan salah secara moral, dan Tuhan terjauh dan semua itu.
[d] Dan anda Tahu bahwa dia tidak pernah melanggar aturannya (hukum) dan (....) bahwa Dia hanya menjadikan sakit dan penderitaan untuk mengembali­kan mereka kepada keberuntungan. Siapa saja yang mengatakan sebaliknya serta telah membenarkan bahwa Tuhan tidak adil dan telah menghubungkan kehinaan kepada-Nya.
[e] Dan anda tahu bahwa demi mereka, Dia telah melakukan yang terbaik untuk semua makhluknya, yaitu terhadap siapa yang ia bebankan kewajiban [moral dan agama] dan bahwa Dia telah memberi tahu kepada mereka apa yang telah Dia bebankan kepada mereka, dan telah menjelaskan jalan kebenaran-Nya, sehing­ga kita bisa mengikutinya, dan Dia juga telah menjelaskan jalan yang sesat (tariq al-batil) sehingga kita bisa menghindari­nya. Jadi siapa pun yang berbuat binasa, maka itu setelah (semuanya diberikan) penjelasan.
[f] Dan anda tahu bahwa semua nikmat yang kita dapatkan berasal dari Tuhan, seperti yang telah Dia firmankan;” apa saja ni’mat yang ada pada kamu, maka itu semua berasal dari Allah” (Q.16:53), (apakah) nikmat itu datang kepada kita (langsung) dari-Nya atau dari yang lain.
[g] Jadi bilamana anda mengetahui (semua) ini, maka anda bisa mengetahui keadilan (Tuhan).

Selintas pernyataannya tampak tidak membahayakan, karena hanya merupakan pene­gasan empatik tentang kesempurnaan keadilan Tuhan, yaitu kebera­daan-Nya yang mutlak bebas dan segala ketidakadilan. Dalam kenyataannya, konsep ini me­munculkan permasalahan yang serius, karena bagaimanapun, pada sisi yang berlawanan konsep ini menunjukkan tanggung jawab manusia, yang dengan demikian, juga kebebasan manusia. Yang kemudian dipahami, pernyataan ini merusak kedaulatan serta kemahakuasaan Tuhan sampai pada tingkatan tertentu.
Pada mulanya, pernyataan tentang keadilan Ilahi diajukan dengan maksud untuk memindahkan beban tanggung jawab perbuatan buruk manusia dan Tuhan kepada manusia. Tetapi pernyataan ini kemudian memunculkan pandangan yang bersifat bid’ah, “apapun yang dilakukan manusia, maka dia melakukannya dengan kekuatan serta tanggung ja­wabnya sendiri, dan secara singkat, manusia adalah ‘pencipta’ dari per­buatannya sendiri". Suatu persoalan yang kemudian diperdebatkan oleh Asyari dan Maturidi.
Pandangan Muazilah ini bisa jadi merupakan antitesis dari pandangan Jahmiyah, yang menegaskan bahwa tidak ada tindakan atau perbuatan manusia yang ditentukan oleh manusia itu sendiri, tin­dakan itu dikaitkan dengan manusia hanya secara metaforik, dan dalam kenyataannya manusia tidak melakukan perbuatan apa pun; dia hanyalah tempat di mana Tuhan menyebabkan sesuatu terjadi.
Permasalahan kedua dari teori Mu`tazilahadalah mengenai ‘penciptaan Qur’an’, suatu permasalahan yang menim­bulkan skandal besar di kalangan masyarakat muslim pada masa awal Abbasiyyah. Secara teoretik, permasalahan ini sebagian muncul dari teori tentang sifat-sifat Tuhan. Mu’tazilah menyangkal keberadaan sifat eksternal Tuhan, karena menurut pandangan mereka jika menerima prinsip itu maka harus menerima keberadaan sejumlah kesatuan yang abadi di samping Tuhan. Karena firman (kalam) merupakan sifat Tuhan yang utama, dan karena bagaimanapun Qur’an adalah firman Tuhan, maka Mu’tazilah memandang tepat untuk menyangkal keberadaan eksternal Qur’an. Dan untuk selanjutnya mereka menegaskan bahwa Qur’an, seperti halnya semua benda lainnya, merupakan sesuatu yang diciptakan. “sesuatu selain Tuhan adalah baharu, maka mengakibatkan keniscayaan bahwa Qur’an dan ucapan Tuhan yang lainnya adalah selain Tuhan”  karena itu al-Quran secara pasti diciptakan, tidak kekal.
        Kedua soal besar ini (Keadilan dan Kebaharuan al-Quran) menghasilkan tema kalam mengenai 1) kebebasan manusia untuk melakukan tindakan apapun, dan 2) “apapun selain Tuhan adalah baru, diciptakan”. Iman, tentu saja hal selain Tuhan,  karenanya bersifat baharu dan diciptakan. Pertanyaannya, siapa yang menciptakan iman, Manusia atau Tuhan? Dengan prinsip kebebasan manusia, Mu`tazilah sepakat bahwa iman atau kafir diciptakan oleh diri manusia, bukan pemberian dari Tuhan.
 Bagi pemikir Mutazilah, merupakan suatu kesalahan jika dikatakan bahwa Tuhan yang menciptakan orang kafir, karena kufr mereka tidak mungkin diciptakan oleh Tuhan. “Tidak dapat dibayangkan bahwa Tuhan yang mutlak benar membuat seseorang menjadi kafir dengan cara men­ciptakan kufr di dalam hati orang itu. Tidak dapat dibayangkan juga bahwa Tuhan yang mutlak adil menciptakan orang kafir dan kemudian menghukum makhluk-Nya itu di dalam Neraka karena telah kafir. Tidak dapat dibayangkan bahwa Tuhan berkeinginan atau berharap untuk menciptakan dosa yang besar yaitu kufr.” 
Sementara Qadi Abd al-Jabbar pada kutipan di atas menegaskan bahwa menjadikan iman dan kafir sebagai ciptaan Tuhan atau pemberian Tuhan pada manusia akan menggugurkan keadilan Tuhan. Konsekuensi dari iman/kafir sebagai ciptaan Tuhan adalah bahwa Tuhan tidak dapat memberikan hukuman pada perbuatan kafir, padahal Tuhan telah menegaskan akan adanya pembalasan setimpal pada perbuatan iman dan kafir. Lebih lanjut Qadi Abdul Jabbar menegaskan bahwa pada masing-masing diri manusia telah diberikan kekuatan untuk beriman atau kafir,  dengan demikian kekafiran dan keimanan merupakan ciptaan atau pilihan masing-masing pribadi:
“(Hal ini) sama dengan kalau kita memberi seseorang pisau untuk digunakan bagi keuntungan mereka sendiri, tapi dia membunuh dirinya sendiri dengan pisau tersebut. Orang yang memberinya pisau telah berbuat baik kepadanya, tapi dia merugikan dirinya sendiri dengan menggunakan pisau untuk sesuatu yang menyebabkan bahaya, bukan untuk sesuatu yang menguntungkan dirinya sendiri. Demikian juga Tuhan memberi orang kafir kekuatan tapi kemudian menggunakannya untuk menghancur­kan dirinya, dan tidak menggunakannya untuk [mendapat­kan] keimanan, jadi inilah orang yang menghancurkan dan melakukan kejahatan pada dirinya sendiri. Itu mengindikasi­kan bahwa Tuhan tidak membebankan kepada manusia apa yang mereka tidak punya kekuatan untuk melakukan­nya, adalah sebuah kemustahilan untuk menyuruh seseorang yang tidak punya kekayaan untuk membayar sedekah karena zakat tidaklah mungkin tanpa ada harta. Begitu juga, Dia tidak akan menyuruh hambanya untuk beriman kalau dia tidak punya kekuatan untuk itu, karena keimanan tidak mungkin tanpa ada kekuatan untuk melakukannya. Dan sesuatu yang mengindikasikan bahwa kekuatan mendahului perbuatan adalah bahwa sebuah instrumen, seperti tangan atau kaki, yang dengan itu perbuatan terjadi harus ada sebelumnya. Jadi, begitu juga kekuatan (harus ada sebelum tindakan).”

Lebih Jauh  Mengenai Penciptaan Kafir

            Iman dan Kafir diciptakan oleh diri manusia, merupakan jawaban atas keyakinan kaum Jabariyah yang menyatakan bahwa apapun yang dialami manusia dikehendaki oleh Tuhan. Mu`tazilah berpendapat sebaliknya. Semua tindak iman merupakan tanggung jawab manusia, demikianpun dengan kekafiran. Karena. Jika Tuhan adalah Pencipta kufr, maka tanggung jawab akan keberadaan dosa terbesar ini (dan untuk masalah ini, keberadaan semua dosa) di dunia akan berada di tangan Tuhan dan bukan di tangan manusia. Atas dasar inipula dapat dikatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai hak untuk menghukum orang kafir karena kekafiran­nya. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa keimanan dan kekafiran tidaklah diciptakan oleh Tuhan.
Pada bagian ini, pembahasannya akan berkisar pada ayat Qur’an (V, 60) yang berbunyi: ‘Apakah akan Aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya di sisi Ilahi?, (yaitu kasus) orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Tuhan, di antara mereka ada yang dijadikan kera dan babi, dan orang-orang yang menyembah berhala’. Kontra-Mu’tazilah menggunakan ayat ini sebagai salah satu teks-pem­buktian yang menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan kufr, dan membuat seseorang menjadi kafir. Pada ayat itu terlihat bahwa Allah mengutuk dan memurkai seseorang sehingga menjadi kera atau babi, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kejadian dan tindakan manusia ditentukan oleh Allah –bukan oleh dirinya sendiri seperti diyakini faham Mu`tazilah. Kemudian Syarif Murtada, sebagai pemikir Mu`tazilah menulis:
“Bagaimana mungkin menaf­sirkan ayat ini dalam pengertian bahwa Allah memberi tahu kita bahwa Dia telah menjadikannya kafir dan menciptakan kufr mereka? Firman Tuhan di sini isinya merupakan celaan atas mereka, suatu keluhan berat kepada mereka karena kufr mereka, serta merupakan suatu ekspresi hinaan atas mereka. Tuhan mencela mereka, dan tidak ada tempat bagi konsepsi bahwa Dia adalah pencipta kufr mereka. Celaan Tuhan sama sekali tidak ada hubungannya dengan penciptaan obyek celaan oleh-Nya.
Di samping itu, orang kafir menjadi benar-benar tidak bersalah dan dapat dimaafkan oleh Tuhan jika adalah Tuhan pencipta kekafiran mereka. Dan kata-kata itu akan menjadi pertentangan dan omong kosong belaka....
Hal terbaik yang dapat dimengerti dari ayat ini adalah informasi bahwa Dia telah menciptakan dan menjadikan manusia menjadi penyembah berhala dan bahwa Dia telah membuat beberapa di antara mereka sebagai babi dan kera.
Tentu saja tidak ada keraguan bahwa Tuhan telah menciptakan orang-orang kafir karena tidak ada Pencipta selain Tuhan. Meskipun demikian, tidak perlu bahwa Dia telah menciptakan kufr pada manusia dan menjadikan manusia itu sebagai seorang kafir.

Makna dari dua kalimat terakhir ini adalah bahwa Tuhan merupakan Pencipta manusia itu, yang secara potensial dapat saja menjadi kafir, yaitu orang yang akan menjadi kafir.  Ini berarti, bagi Mutazilah, Tuhan tidak pernah menciptakan kufr (secara aktual) di dalam diri seseorang. Tuhan mencipta­kan manusia, tetapi apakah manusia akan menjadi kafir atau tidak, itu menjadi urusan manusia dan bukan urusan Tuhan.

Cara seorang yang kafir menjadi kafir bukan perbuatan Tuhan. Ya... kita mempunyai suatu pembuktian yang jelas bahwa Dia terlalu mulia untuk mem­buat dan menciptakan hal semacam itu. Keduanya (yaitu, penciptaan seorang manusia untuk menjadi seorang yang kafir di satu pihak, dan penciptaan cara di mana manusia dapat menjadi kafir di lain pihak) merupakan masalah yang sama sekali berbeda.

Dalam buku yang sama, Syarif al-Murtada membahas permasalahan pencip­taan kufr oleh Ilahi dari sudut yang sedikit berbeda. Kali ini, teks pembuk­tiannya adalah ayat Qur’an (3: 8): “Ya tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri pe­tunjuk kepada kami (ke arah yang benar)”. Ayat ini tampaknya memberikan landasan yang sangat baik bagi ke­lompok kontra-Mu’tazilah untuk menegaskan bahwa baik iman maupun kufr merupakan ciptaan Tuhan. Pada teks itu terbaca kelas bahwa ada permintaan kepada Tuhan agar tidak mencon­dongkan hatinya dari iman. Secara tidak langsung doa ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa ada kemungkinan bagi Tuhan untuk membuat hati manusia condong dari iman dan menjadi kafir.
Menanggapi pendapat ini, Syarif al-Murtada menjawab dengan cara sebagai berikut: “ayat ini tidak menyatakan bahwa Tuhan secara langsung menciptakan kufr dalam hati mereka; ayat ini menga­takan bahwa dimungkinkan bagi Tuhan untuk membuat situasi semacam itu yang akan menyebabkan kufr pada mereka”. Dengan kata lain, bahkan dalam situasi semacam itu, manusia selalu bebas untuk tidak memilih jalan yang salah. Jika dia memilih kufr karena adanya tekanan suatu kondisi, maka hal itu merupakan tanggungjawabnya sendiri. Atas dasar pengertian ini Murtada mengusulkan sejumlah penafsiran yang mungkin mengenai ayat yang dikutip di atas.

Ayat ini dapat diuraikan sebagai: ‘Ya Tuhan kami! Sesudah Engkau beri “petunjuk” kepada kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan.’
Ketika kita akan menjalani hukuman berat yang tidak dapat ditahan lagi, maka hati kita dapat kehilangan kepercayaan karena tekanan situasi. Untuk men­deskripsikan kasus semacam itu, maka (secara gramatikal) sangatlah dapat diterima jika kita menjadikan Tuhan sebagai subyek tindakan (seperti yang dilakukan oleh ayat Qur’an itu) serta menghubungkan kecondongan hati ke arah kesesatan, dengan Tuhan.
Sekarang, jika kita diminta untuk menerangkan mengenai yang kita maksud sebagai perbuatan Tuhan yang menjadikan hati kita mengalami hukuman berat yang tidak tertahankan, maka kita akan menjawab: hal itu terjadi karena Tuhan membuat keinginan kira menjadi sangat kuat untuk segala hal yang dinilai oleh akal kita sebagai sesuatu yang buruk dan jahat, serta Tuhan memperkuat kecenderungan kita untuk mengelakkan kewajiban kita. (Dalam hal ini, perbu­atan kufr itu tidak harus dipahami sebagai perbuatan buruk dan jahat oleh Tuhan, karena Dia yang membuat hal itu) kewajiban moral yang ditimpakan kepada kita dibuat lebih sulit untuk dilaksanakan, tetapi balasan yang akan diterima lebih besar (jika melakukan kewajiban itu).
Cara kedua yang memungkinkan untuk penafsiran adalah dengan menempat­kan ayat itu sebagai doa yang sungguh-sungguh kepada Tuhan yang dilakukan oleh kaum muslim sehingga Tuhan akan memperkuat hati mereka serta tetap memperoleh ‘petunjuk’, serta memperkuat mereka dengan Kasih-Nya, yang tanpa kasih itu mereka tidak akan dapat mempertahankan iman mereka se­lama-lamanya. (Penafsiran ini didasarkan pada pemikiran Qur’anik di mana jiwa manusia secara alami bersifat lemah dan mudah berbuat salah). Dengan demikian, ayat ini dapat diuraikan sebagai. ‘Ya Tuhan kami, jangan biarkan hati kami tanpa Engkau perkuat dengan Kasih-Mu, karena tanpa itu kami akan jauh dari jalan yang benar serta tersesat.’

Permasalahan ini kemudian menjadi serius ketika dimunculkan pertanyaan: Apa­kah Tuhan menginginkan dan menghendaki kufr? Pertanyaan ini terkait dengan pernyataan tak terbantahkan bahwa tak ada pencipta atas sesuatupun di dunia ini kecuali Tuhan, maka kafir pun pastilah merupakan ciptaan Tuhan. Nah, jika Tuhan menciptakan kafir tidaklah mungkin bagi siapa saja untuk menciptakan apa pun juga tanpa keinginan serta kehendak untuk melakukan hal itu. Syarif al-Murtada menyatakan bahwa “tentu saja tidak ada keraguan bahwa Tuhan telah menciptakan orang-orang kafir karena tidak ada Pencipta selain Tuhan”. Namun apakah ini berarti Tuhan juga menginginkan serta menghendaki itu? Jika mengatakan Ya pa­da pernyataan ini, maka akan ada kesimpulan bahwa bahwa Tuhan menyukai kufr dan menyetujuinya.
Ya, apakah kekafiran diharapkan oleh Tuhan? Ibn Hazm mencoba merumuskan jawaban atas pertanyaan ini dengan pertama kali merumuskan ulang pandangan kaum Mutazilah:

Ketika seseorang menjadi kafir, atau ketika seseorang melakukan dosa besar dan menjadi fasiq, atau ketika seseorang mencela Tuhan dan membunuh Nabi, maka ini semua tidak ada hubungannya dengan keinginan dan harapan Tuhan.
Tuhan tidak pernah menginginkan (sya’a) hal seperti itu. Hal ini dibuktikan oleh ayat  Qur’an: ‘Tuhan tidak meridlai kufr bagi hamba-Nya’ (QS. 39, 7) Secara umum, barang siapa (melakukan perbuatan) yang dikehendaki oleh Tuhan untuk dikerjakan, maka dia    merupakan orang yang pantas memperoleh pahala karena perbuatan baik yang dilakukannya.     Oleh karena itu, jika Tuhan berkehendak bahwa seseorang menjadi kafir atau bahwa diri     melakukan dosa besar, dan jika benar manusia ini melakukan perbuatan itu, maka dia mela­kukan perbuatan yang dikehendaki oleh Tuhan untuk dilaksanakan. Dengan kata lain, dia telah melakukan hal yang baik dan dengan demikian pantas memperoleh pahala Ilahi. (Tetapi ini tidak mungkin).

Menanggapi pandangan Mu’tazilah ini, Ibn Hazm berpendapat bahwa menurut pandangan yang diyakini para pengikut Sunnah, kata kehendak dikaitkan dengan dua kata dalam bahasa Arab iradah  dan masyi`ah. Iradah berarti berkehendak dan masyi’ah berarti ‘berharap’. Keduanya bersifat kurang tegas dan diguna­kan dalam dua makna yang berbeda menurut konteks yang aktual. Salah satu dari makna itu adalah ‘kepuasan’ atau ‘kesenangan’ (ridla), serta ‘persetujuan’ (istihsan, yang secara harfiah berarti: ‘menilai sesuatu baik’). Dalam pengertian yang pertama ini (ridla), Tuhan tidak mungkin senang melihat manusia melalukan tindakan yang dilarang-Nya. Makna yang kedua (istihsan) adalah menginginkan dan menghendaki keberada­an sesuatu, apa pun sesuatu itu. Dalam pengertian yang kedua ini, kata-kata itu dapat digunakan dengan merujuk Tuhan dalam kaitannya dengan setiap kehi­dupan di dunia ini, baik atau buruk.
Kita hanya berhak mengatakan dalam pengertian yang kedua (istihsan) di mana Tuhan mengharapkan, mengingin­kan atau menghendaki sesuatu hal, meskipun hal yang diinginkannya adalah hal yang buruk seperti kufr. Menurut Ibn Hazm, Mu’tazilah tidak konsisten dalam menafsirkan dua makna kata ini, kadang-kadang menggunakan kata-kata ini dalam penger­tian yang satu dan kadang-kadang dalam pengertian lain. Kemudian, Ibn Hazm menyimpulkan, bahwa jelas dalam perma­salahan ini mereka menggunakan metode sofistik dalam argumentasi mereka.
“Pandangan yang benar dari pengikut Sunnah adalah sebagai berikut: barang siapa yang melakukan sesuatu yang dikehendaki (arada) serta yang diinginkan (sha’a) Tuhan maka dia tidak dapat dikatakan orang yang mengerjakan sesuatu yang baik serta pantas menerima pahala. Orang yang berbuat baik adalah seseorang yang melakukan apa yang diperintahkan Tuhan kepadanya dan dengan melakukan hal itu Dia menjadi ridla.

Dengan kata lain, kufr merupakan obyek kehendak dan keinginan Tuhan dalam pengertian kata yang kedua (istihsan, persetujuan), dan bukan dalam pengertian yang pertama (ridla, menyenangi atau menghendaki). Oleh karena itu, barang siapa melakukan perbuatan itu sama sekali tidak pantas mem­peroleh pahala Ilahi. Jadi keberadaan kekafiran disetujui, namun tidak diridlai. Namun pertanyaannya adalah, kenapa hal yang tidak disetujui ini tidak dicegah dan dihilangkan oleh Tuhan? Ibn Hazm menyatakan:
Kita perlu mengetahui bahwa barang siapa mampu mencegah sesuatu, namun tidak melakukannya; maka orang itu menghendakinya. Jika tidak meng­harapkannya maka dia akan berusaha mengubahnya serta mencegah perbuatan itu tanpa melakukannya sedikit pun.

Tak ada jawaban yang tepat untuk soal ini. Oleh karena itu, Ibn Hazm kembali pada pernyataannya yang men­dasar serta sangat disukainya, yaitu bahwa kita tidak boleh mengukur hal yang baik dan buruk yang dilakukan oleh Tuhan dengan standar yang hanya valid bagi manusia. Tuhan bebas mutlak. Apa pun yang dilakukan­Nya, bagaimanapun yang diputuskan-Nya, Dia adil dan bijaksana. Hanya jika obyek kehendak Tuhan diwujudkan dalam dunia realitas manusia dan dilihat dari sudut pandang manusia, maka beberapa perbuatan Tu­han itu menjadi baik dan beberapa yang lain menjadi buruk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar