Minggu, 03 November 2013

Analisa Sunni - Syiah


ANALISA SUNNI - SYIAH

Assalamu'alaykum Wr. Wb.

Adalah suatu hal yang sangat memprihatinkan apabila sampai pada hari ini umat Islam masih bertengkar mempermasalahkan status madzhab, pola pikir atau juga sekte. Seolah merasa kebenaran adalah mutlak milik madzhab dan golongan masing-masing, diluarnya salah dan sesat.

Lalu sampai seberapa jauh Islam ini akan dibawa kepada pertarungan panjang yang melelahkan ? haruskah fanatisme dan kebutaan pemikiran senantiasa melingkupi hati kita, mencemari kesucian roh dan mencampakkan Nafs ?

Haruskah semuanya kita lanjutkan sampai masa yang akan datang ?

Semoga Allah mengampuni kita yang tidak mengerti betapa agung dan pluralnya Islam itu, kenapa kita menyianyiakan satu ajaran yang konon gunungpun tak kuasa menerimanya ?

Jika dengan mencintai para keluarga Nabi, membela kebenaran yang ada didiri Fatimah, Ali, Hasan dan Husin maka seseorang disebut sebagai Syiah, maka saya akan dengan bangga menyatakan diri saya Syiah, sebaliknya jika mengagumi ketokohan Umar bin Khatab dan mengamalkan hadis-hadis selain riwayat dari para ahli Bait Nabi maka seseorang disebut sebagai Ahli Sunnah, maka sayapun menyebut diri saya demikian.

Tidak ada yang salah dengan kedua istilah tersebut, Syiah dan Sunni merupakan istilah yang terbentuk setelah ajaran Islam selesai diwahyukan, keduanya pada dasarnya merupakan polarisasi pemahaman yang berawal dari pemilihan pemimpin umat Islam pasca kematian Nabi yang akhirnya meluas sampai pada tingkat penyelewengan dimasing-masing pemahaman oleh generasi-generasi sesudahnya.

Sudah sampai saatnya masing-masing kita melakukan koreksi diri terhadap apa yang selama ini terdoktrinisasi, bahwa pelurusan sejarah serta pentaklidan buta sudah saatnya dilakukan.

Isyu perpecahan didalam Islam memang bukan hal yang baru dan rasanya ini sesuatu yang wajar karena setiap orang bisa memahami ajaran Islam dari sudut pandang keilmuan yang berbeda, apalagi Islam mencakup pengajaran semua bangsa dan daerah yang masing-masingnya memiliki corak budaya, tradisi serta situasi yang beraneka ragam sebagai salah satu sifat universalismenya.

Semua perbedaan tersebut seharusnya tidak dijadikan sekat dalam mengembangkan rasa kebersaudaraan dan toleransi beragama, sebagaimana sabda Nabi sendiri bahwa umat Islam itu bagaikan satu tubuh, semuanya bersaudara yang diikat oleh tali Tauhid, pengakuan ketiadaan Tuhan selain Allah, Tuhan yang satu, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan dalam berbagai bentuk, penafsiran serta sifat apapun.

Karenanya kecenderungan untuk menghakimi pemahaman yang berbeda dari apa yang kita pahami apalagi sampai melekatkan label kekafiran atasnya sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang disampaikan oleh Allah melalui nabi-Nya.

"Barangsiapa bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah,
menghadap kiblat kita,
mengerjakan Sholat kita dan memakan hasil sembelihan kita,
maka ia adalah seorang Muslim. Baginya berlaku hak dan kewajiban yang sama
sebagai Muslim lainnya."
- Riwayat Bukhari -

Maraknya ajaran-ajaran sesat yang terjadi diberbagai belahan dunia akhir-akhir ini memang sewajarnya membuat umat Islam merasa prihatin, terlebih lagi mereka yang menggunakan nama dan tata cara Islam sebagai topeng yang menutupi kesesatannya. ; Akan tetapi kita juga harus mampu bersikap objektif, berpikiran terbuka dan jernih menyikapinya, selama kita belum mengetahui secara jelas seberapa jauh penyimpangan yang dianggap sudah dilakukan oleh mereka maka selama itu pula hendaknya kita menahan diri dari komentar maupun tanggapan yang justru menimbulkan keresahan dimasyarakat.

Saya tidak terikat dengan organisasi keagamaan manapun atau juga madzhab apapun yang ada, secara plural saya menganggap semuanya mengajarkan kebaikan dan dari masing-masing kebaikan yang diajarkan itu saya memetik nilai-nilai kebenaran yang sesuai dengan nash kitab suci serta objektifitas berpikir.

Islam adalah satu, semuanya bersumber dari ajaran yang satu, yaitu Yang Maha Kuasa yang kemudian diturunkan kepada kita melalui salah seorang hamba terkasih-Nya bernama Muhammad bin Abdullah ditanah Arab pada abad ke-6 masehi.

Jika Islam adalah satu, maka umatnya pun adalah satu dan ini konsekwensi logis darinya, karena itu Nabi bersabda :

"Dari Miqdad bin 'Amr ; ia pernah bertanya kepada Nabi : Bagaimana jika ia berperang dengan kaum kafir, lalu berkelahi dengan seorang diantaranya hingga tangannya terputus dan dalam satu kesempatan sang musuh berhasil dijatuhkan lalu saat akan dibunuhnya dia berseru "Aslamtu lillah" - aku Islam kepada Allah - namun masih dibunuhnya, apa jawab Nabi ?
- Jangan kau bunuh dia, jika kau bunuh dia maka sesungguhnya dia sudah berada dalam kedudukanmu sebelum engkau membunuhnya, yaitu seorang Muslim, sedangkan kamu berada dalam posisinya sebelum dia mengucapkan kalimat itu (yaitu kafir).; lalu dijawab oleh Miqdad bahwa pernyataan orang itu hanya untuk menghindari pembunuhan saja, jawab Nabi lagi, bahwa dirinya diutus Allah tidak untuk menghakimi hati seseorang."

"Islam adalah kesaksian bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan pembenaran kepada Rasulullah Saw, atas dasar itulah nyawa manusia dijamin keselamatannya. Dan atas dasar itu juga berlangsung pernikahan dan pewarisan serta terbina kesatuan kaum Muslimin." - Riwayat Sama'ah

"Nabi bersabda : bahwa Jibril datang kepada beliau dan mengabarkan tentang keutamaan seseorang yang meninggal dunia dalam keadaan bertauhid secara murni maka ia akan masuk syurga kendati ybs pernah berzina dan mencuri." - Riwayat Bukhari dari Abu Dzar

Kita semua tahu bagaimana vitalnya posisi dan peranan Ali bin Abu Thalib dikehidupan Nabi dan putrinya Fatimah.

Sejak kecil, Nabi dibesarkan dalam lingkungan keluarga ayahnya dari suku Bani Hasyim yang merupakan salah satu keluarga terpandang dikalangan penduduk Mekkah saat itu. Ketika kakeknya Abdul Muthalib wafat, hak pengasuhan atas diri Nabi pindah ketangan pamannya yang bernama Abu Thalib, dari pamannya inilah Nabi belajar banyak hal mengenai perdagangan dan kejujuran hingga beliau dikenal sebagai al-Amin (orang yang terpercaya) sampai-sampai beliau dipercaya untuk membawa dan menjualkan dagangan sejumlah saudagar hingga kenegri Syam dan bertemu dengan Khadijjah yang kelak dinikahinya.

Dimasa awal turunnya wahyu, selain istrinya, orang kedua yang mengimani kenabiannya adalah Ali putra pamannya, Abu Thalib yang dengan beraninya mengumumkan keislamannya secara terbuka kepada keluarganya.

Dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Hidup Muhammad”, hal 89, Muhammad Husain Haekal menggambarkan pernyataan kesetiaan Ali terhadap Nabi sebagai berikut :

“Tuhan menjadikanku tanpa aku perlu berunding dengan Abu Thalib, apa gunanya aku harus berunding dengannya untuk menyembah Allah ?”; selanjutnya pada halaman 92 juga dituliskan pernyataan Ali yang lain : “Rasulullah, aku akan membantumu, aku adalah lawan siapa saja yang menentangmu”.

Meskipun demikian, Abu Thalib sendiri menurut riwayat tetap pada keyakinan lamanya sebagai penyembah berhala, bertolak belakang dengan sikap putranya. Namun perbedaan keyakinan antara mereka tidak membuat Abu Thalib melepaskan perlindungan dan kasih sayangnya pada diri Nabi, Ali dan Khadijjah, beliaulah yang sering melakukan pembelaan manakala ada pihak Quraisy yang bermaksud mencelakakannya dan ini terus dilakoninya sampai ia wafat.

Ali bin Abu Thalib telah ikut bersama Nabi semenjak usia anak-anak, jauh sebelum Nabi bertemu dengan para sahabat lainnya, karena itu juga mungkin beliau digelari Karamallahuwajhah (yaitu wajah yang disucikan Allah dari penyembahan berhala).

Allah sendiri melalui wahyu-Nya telah menekankan kepada Nabi agar terlebih dahulu menyerukan ajaran Islam kepada keluarga terdekatnya :

Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat, Limpahkanlah kasih sayang terhadap orang-orang beriman yang mengikutimu; Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah:"Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan". – Qs. Asy-Syu’araa 26:214-216

Seruannya memang di-ikuti oleh keluarganya dimulai oleh Khadijjah istrinya, Ali bin Abu Thalib sepupu sekaligus menantunya kelak, paman sesusuannya, Hamzah bin Abdul Muthalib, Ja’far bin Abu Thalib dan pamannya Abbas bin Abdul Muthalib.

Olehnya tidak menjadi suatu kesangsian lagi bila Ali mengenal betul sifat dan watak yang ada pada diri Nabi sehingga tidak ada alasan baginya untuk menolak perintah maupun membantah keputusannya, terlebih dalam kapasitasnya selaku seorang Rasul Tuhan. ; Jelas dalam hal ini sikap Ali bin Abu Thalib tidak bisa disejajarkan dengan sikap beberapa sahabat yang kritis dan vokal terhadap beberapa pendapat Nabi, bisa dimaklumi bahwa notabene mereka mengenal Nabi tidak lebih lama dari Ali bin Abu Thalib selain juga ditentukan oleh faktor watak dan kondisi lain yang melatar belakanginya.

Dimalam hijrahnya ke Madinah, Nabi meminta Ali bin Abu Thalib menggantikan posisi tidurnya dipembaringan dengan mengenakan mantel hijaunya dari Hadzramut, menyongsong rencana pembunuhan yang sudah disusun oleh para kafir Quraisy yang saat itu berada disekitar kediaman Nabi.

Tindakan Nabi ini seolah mengisyaratkan bahwa beliau berkeinginan untuk menjadikan sepupunya itu pengganti dirinya dikala hidup dan mati.

Saat Nabi mempersatukan kaum Muhajirin dan Anshar dikota Madinah, Nabi sendiri justru mengangkat Ali bin Abu Thalib sebagai saudaranya (padahal keduanya sama-sama Muhajirin), berbeda misalnya dengan Abu Bakar yang disaudarakan dengan Kharija bin Zaid, Umar bin Khatab dengan ‘Itban bin Malik al-Khazraji, bahkan pamannya sendiri yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib dipersaudarakan dengan Zaid, mantan budaknya.

Persaudaraannya ini sering di-ingatkan oleh Nabi dalam hadis-hadisnya bahwa kedudukannya terhadap Ali laksana kedudukan Musa terhadap Harun (bukankah dalam al-Qur’an surah al-A’raaf 7 : 142 disebutkan bahwa Harun menjadi pengganti Musa tatkala beliau berangkat ke Sinai untuk mendapat wahyu ? )

Dari Sa’ad bin Abu Waqqas : “Rasulullah Saw mengatakan kepada Ali : Engkau dengan aku serupa dengan kedudukan Harun dengan Musa, tetapi sesungguhnya tidak ada Nabi sesudah aku” – Hadis Riwayat Muslim

Saat semua sahabat utamanya mengajukan lamaran untuk menyunting Fatimah sebagai istri mereka, Nabi menolaknya dan menikahkan putri tercintanya itu dengan Ali bin Abu Thalib.

Tatkala Hisyam bin Mughirah meminta izin kepada Nabi agar memperbolehkan mengawinkan anak perempuannya dengan Ali, Nabi juga menolaknya dan bersabda : 
“Aku tidak mengizinkan, sekali lagi aku tidak mengizinkan dan sekali lagi aku tidak mengizinkannya kecuali bila Ali bin Abu Thalib mau menceraikan puteriku dan kawin dengan anak-anak perempuan Hisyam, karena sesungguhnya, puteriku darah dagingku, menyusahkanku apa yang menyusahkannya dan menyakitkanku apa saja yang menyakitkannya” – Riwayat Muslim
 
Ali juga merupakan satu-satunya orang yang diserahi panji Islam dalam peperangan Khaibar oleh Nabi yang menurut beliau bahwa panji itu hanya layak bagi laki-laki yang benar-benar mencintai Allah dan Rasul-Nya lalu ditangannya Allah akan memberikan kemenangan.; Padahal Umar bin Khatab sangat berambisi agar tugas itu diserahkan kepadanya. (Riwayat Muslim dan Bukhari)

Saat akan terjadi Mubahalah antara Nabi dengan para pendeta dari Najran, beliau memanggil Ali, Fatimah serta kedua cucunya yaitu Hasan dan Husin untuk mendampinginya baru para istri beliau (ini ditegaskan juga dalam surah 3 Ali Imron ayat 61 yang mendahulukan penyebutan anak-anak Nabi dari istri-istrinya, ditambah riwayat dari Imam Muslim bahwa saat itu Nabi menunjuk Ali, Fatimah, Hasan dan Husin sebagai keluarganya).

Dalam haji terakhirnya disuatu daerah bernama ghadir khum, beberapa riwayat menyebutkan bahwa Nabi sempat menyinggung tentang regenerasi kepemimpinan umat sepeninggal beliau dan mengumumkan Ali sebagai penerusnya.; dan memperingatkan kaum Muslimin agar memperhatikan keluarga beliau sepeninggalnya kelak, ucapan ini sampai diulangnya sebanyak 3 kali, dan Zaid bin Arkam menyatakan bahwa yang dimaksud oleh Nabi adalah keluarga Ali, ‘Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga ‘Abbas. – Riwayat Muslim

Menjelang akhir hayatnya, Nabi menugaskan sebagian besar sahabat utamanya termasuk Abu Bakar dan Umar kedalam satu ekspedisi ke daerah Ubna, suatu tempat di Syiria dibawah komando Usamah bin Zaid bin Haritsah, sementara Ali sendiri diminta untuk tetap menemani hari-hari terakhirnya dikota Madinah serta memberinya wasiat agar mau mengurus jenasah dan pemakamannya bila waktunya tiba.

Ini juga tersirat tentang keinginan Nabi menjadikan dan memantapkan posisi Ali sebagai pengganti beliau memimpin umat, dijauhkannya para sahabat senior lain dari kota Madinah agar ketika mereka kembali tidak akan terjadi keributan seputar suksesi kepemimpinan.

Hanya sayang rencana Nabi kandas karena sebagian sahabat senior merasa enggan berada dalam komando Usamah bin Zaid yang masih relatif remaja sampai Nabi marah dan mempertanyakan kredebilitas dirinya dihadapan mereka mengenai penunjukan Usamah itu.

Pada akhirnya kehendak Nabi harus mengalah dengan kehendak Tuhan yang sudah mentakdirkan jalan lain, tidak ubah seperti keinginan Isa al-Masih agar cawan penyaliban dihindarkan darinya namun Tuhan tetap menginginkan semuanya terjadi sesuai mau-Nya.

Nabi wafat dipelukan Ali setelah membisikkan kepada Fatimah agar tidak bersedih sepeninggalnya karena dalam waktu tidak berapa lama setelah kematiannya, putrinya itupun akan menyusulnya.

Ali juga yang memandikan jenasah Nabi bersama Ibnu Abbas dan mengurus pemakamannya, saat yang sama sekelompok orang disaat itu malah meributkan suksesi kepemimpinan dan akhirnya menobatkan Abu Bakar selaku Khalifah penerus Nabi dalam memimpin umat serta melupakan semua peran dan posisi Ali dihadapan Nabi.

Inilah awal dari isyu perpecahan ditubuh Islam, sebagai bentuk protes terhadap perbuatan mereka ini, Ali, Fatimah dan sejumlah sahabat lainnya menolak mengakui kepemimpinan Abu Bakar, lebih-lebih lagi setelah sang Khalifah menolak memberikan tanah Fadak yang diwariskan Nabi kepada Fatimah hasil rampasan perang Khaibar.; Padahal semua orang tahu, bahwa menyakiti Fatimah sama seperti menyakiti Nabi, namun mereka mengabaikannya hingga akhirnya Fatimah wafat dalam keadaan tetap mendiamkan Abu Bakar dan menolak berbaiat kepada pemerintahannya.

Ali bin Abu Thalib memakamkan jenasah istrinya disuatu tempat pada malam harinya secara diam-diam dan hanya dihadiri oleh para simpatisan dan pengikut mereka karena tidak ingin dihadiri oleh pihak yang berseberangan dengannya.

Manakala keadaan Madinah semakin memanas, dan beberapa pihak berusaha menghasut terjadinya peperangan antara pihak Ali dan Abu Bakar, sebuah keputusan berdamai diambil oleh Ali demi menjaga persatuan umat dan terciptanya kedamaian.

“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah).  - Qs. al-Ahzaab 33:6

Kondisi ini terus berlangsung hingga wafatnya Umar bin Khatab dan turunnya kredibelitas Usman bin Affan selaku Khalifah ke-3 akibat ulah para keluarganya yang tamak dan haus kekuasaan.
  
Keterbunuhan Usman bin Affan dan pengangkatan dirinya sebagai Amirul Mukminin membangkitkan dendam lama Quraisy terhadap Bani Hasyim keturunan Nabi, walaupun berakhir dengan baik dan terhormat, tidak urung pertempuran Jamal yang dipimpin langsung oleh 'Aisyah istri Nabi merupakan awal yang bagus untuk dimanfaatkan oleh Muawiah bin Abu Sofyan dalam mengobarkan pemberontakan terhadap otoritas kepemimpinan Ali.

Ali akhirnya terbunuh dimasjid Kufah akibat tusukan pedang beracun milik salah seorang dari kelompok Khawarij bernama Abdurahman bin Muljam pada suatu Jum'at pagi dan menghembuskan nafas terakhirnya pada malam Ahad 21 Ramadhan 40 H.

Setelah kematian Ali bin Abu Thalib, Hasan puteranya tertua diangkat oleh sekelompok besar sahabat Nabi selaku Khalifah pengganti. Namun lagi-lagi Muawiyah tidak senang dan terus mengobarkan semangat permusuhan dengan Ali dan keturunannya, orang dipaksa untuk mencaci maki keluarga Nabi itu sejahat-jahatnya bahkan termasuk dalam mimbar-mimbar Jum'at.

Kenyataan ini jelas semakin memperdalam kehancuran persatuan umat Islam, suatu ironi yang tidak dapat dihindarkan, betapa dengan susah payah Nabi menggalang satu tatanan kehidupan masyarakat yang madani dengan mengorbankan air mata dan tetesan darah para syuhada harus hancur dihadapan cucu beliau sendiri.

Akhirnya Hasan bin Ali memutuskan untuk berdamai dengan Muawiyah dan menyerahkan tampuk kekuasaan Khalifah kepadanya demi untuk menghindarkan jurang yang lebih dalam lagi dikalangan umat Islam dengan beberapa persyaratan perjanjian.

Beberapa isi dari perjanjian itu adalah pemerintahan Muawiyah akan menjalankan pemerintahan berdasarkan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, menjaga persatuan umat, menyejahterakannya, melindungi kepentingannya, tidak membalas dendam kepada anak-anak yang orang tuanya gugur didalam berperang dengan Muawiyah juga tidak mengganggu seluruh keluarga Nabi Muhammad Saw baik secara terang-terangan maupun tersembunyi dan menghentikan caci maki terhadap para Ahli Bait ini serta tidak mempergunakan gelar "Amirul Mukminin" sebagaimana pernah disandang oleh Khalifah Umar bin Khatab dan Khalifah Ali bin Abu Thalib.

Akan tetapi selang beberapa saat sesudah Muawiyah diakui sebagai Khalifah, dia mulai melanggar isi perjanjian tersebut, orang-orang yang dianggap mendukung keluarga Nabi diculik dan dibunuh, perbendaharaan kas baitul mal Kufah disalah gunakan, caci maki terhadap keturunan Nabi dari Fatimah kembali dibangkitkan malah lebih parah lagi mereka memaksa orang untuk memutuskan hubungan dengan ahli Bait Nabi.

Tidak hanya sebatas itu, beberapa hukum agama yang diatur oleh Nabi Muhammad Saw pun dirombak oleh Muawiyah, misalnya Sholat hari raya mempergunakan azan, khotbah lebih didahulukan daripada sholat, laki-laki diperbolehkan memakai pakaian sutera dan sebagainya.
Mereka juga membuat pernyataan-pernyataan yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw dan beberapa sahabat utama yang sebenarnya tidak pernah ada.

Hal ini membuat prihatin para pendukung Hasan bin Ali bin Abu Thalib, mereka sepakat untuk kembali menyatakan cucu Nabi Saw ini selaku seorang Imam atau pemimpin mereka.

Orang-orang ini diantaranya Hajar bin Adi, Adi bin Hatim, Musayyab bin Nujbah, Malik bin Dhamrah, Basyir al-Hamdan dan Sulaiman bin Sharat.

Akan tetapi selang tak lama, putera pertama dari Fatimah az-Azzahrah ini wafat karena diracun, lama masa pemerintahan Khalifah Hasan ini 6 bulan lebih 1 hari.

Kekejaman dinasti Bani Umayyah terhadap Bani Hasyim keturunan Nabi Muhammad Saw terus berlanjut sampai pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah bin Abu Sofyan yang melakukan pembantaian besar-besaran atas diri Husain sekeluarga dan para pengikutnya dipadang Karbala pada hari Asyura.

Kepala Husain yang mulia telah dipenggal, wanita dan anak-anak di-injak-injak, wanita hamil serta orang tua pun tidak luput dari pembunuhan kejam itu.

Seluruh keturunan Nabi Muhammad Saw melalui Ali bin Abu Thalib terus dicaci maki meskipun tubuh mereka telah bersimbah darah merah, semerah matahari senja yang meninggalkan cahaya ke-emasannya untuk berganti pada kegelapan.

Kekejaman Yazid dalam membunuh Husain, menyembelih anak-anak dan pembantu-pembantunya, begitu pula memberi aib kepada wanita-wanitanya, ditambah dalam tahun ke-2 memperkosa kota Madinah yang suci serta membunuh ribuan penduduknya, tidak kurang dari 700 orang dari Muhajirin dan Anshar sahabat-sahabat besar Nabi yang masih hidup.

Marilah sekarang kita berpikir secara objektif, apakah perbuatan ini dianggap baik oleh orang yang mengaku mencintai Nabinya dan senantiasa bersholawat kepada beliau dan keluarganya dalam setiap sholat ?

Masihkah kita berpikir jahat terhadap orang yang mencintai dan mengasihi ahli Bait sementara kita sendiri justru berusaha untuk membela orang-orang yang justru telah secara nyata melakukan pembasmian terhadap keluarga Nabi Muhammad Saw ?

Permusuhan Muawiyyah bin Abu Sofyan terhadap Bani Hasyim terus menurun kepada generasi sesudahnya seperti Yazid bin Muawiyah, Marwan, Abdul Malik dan Walid, barulah pada pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz keadaan berubah.

Sekalipun Umar bin Abdul Aziz berasal dari klan Bani Umayyah sebagaimana juga pendahulunya, namun beliau bukan orang yang zalim, seluruh penghinaan terhadap keluarga Nabi dilarangnya, sebaliknya beliau membersihkan nama dan sangat menghormati para ahli Bait.

Sebagai tambahan catatan, dendam lama antara Bani Umayyah terhadap Bani Hasyim pernah secara nyata dilakukan pada jaman Nabi Muhammad Saw masih hidup, yaitu manakala Hindun istri Abu Sofyan (orang tua dari Muawiyah) melakukan permusuhan terhadap Rasul dan bahkan ia juga yang membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib secara licik dalam peperangan Uhud lalu tanpa prikemanusiaan mencincang tubuh paman Nabi itu lalu mengunyah hatinya dimedan perang.

Namun pembalasan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad Saw ketika berhasil menguasai seluruh kota Mekkah pada hari Fath Mekkah ?

Seluruh kejahatan Abu Sofyan dan Hindun justru dimaafkan begitu saja oleh Nabi dan rumah Abu Sofyan dinyatakan sebagai tempat yang aman bagi semua orang sebagaimana juga Masjidil Haram dinyatakan bersih dan terjamin keselamatan orang-orang yang berada disana.

Sungguh bertolak belakang sekali perlakuan generasi Bani Hasyim dibanding perlakukan Bani Umayyah terhadap sisa-sisa Bani Hasyim dari keturunan Nabi.

Jika keagungan tujuan, kesempitan sarana dan hasil yang menakjubkan, adalah tiga kriteria kejeniusan manusia, siapa yang berani membandingkan manusia yang memiliki kebesaran didalam sejarah modern dengan Muhammad ?

Orang-orang paling terkenal menciptakan tentara, hukum dan kekaisaran semata.
Mereka mendirikan apa saja, tidak lebih dari kekuatan material yang acapkali hancur didepan mata mereka sendiri.

Nabi Muhammad Saw, Rasul Allah yang agung, penutup semua Nabi, tidak hanya menggerakkan bala tentara, rakyat dan dinasti, mengubah perundang-undangan, kekaisaran. Tetapi juga menggerakkan jutaan orang bahkan lebih dari itu, dia memindahkan altar-altar, agama-agama, ide-ide, keyakinan-keyakinan dan jiwa-jiwa.

Berdasarkan sebuah kitab, yang setiap ayatnya menjadi hukum, dia menciptakan kebangsaan beragama yang membaurkan bangsa-bangsa dari setiap jenis bahasa dan setiap ras.

Dalam diri Muhammad, dunia telah menyaksikan fenomena yang paling jarang diatas bumi ini, seorang yang miskin, berjuang tanpa fasilitas, tidak goyah oleh kerasnya ulah para pendosa.

Dia bukan seorang yang jahat, dia keturunan baik-baik, keluarganya merupakan keluarga yang terhormat dalam pandangan penduduk Mekkah kala itu. Namun dia meninggalkan semua kehormatan tersebut dan lebih memilih untuk berjuang, mengalami sakit dan derita, panasnya matahari dan dinginnya malam hari ditengah gurun pasir hanya untuk menghambakan dirinya demi Tuhannya.  Dia lebih baik dari apa yang semestinya terjadi pada seseorang seperti dia.

Mari kita semua berpikir objektif dan mengedepankan kejujuran ... sekali lagi, jika dengan mencintai keluarga Nabi maka seseorang disebut sebagai Syiah, maka saya adalah Syi'ah ... tetapi apakah Syi'ah dalam arti aliran keagamaan ? - Tidak - Islam yang saya yakini bukan Islam yang disekat oleh aliran dan madzhab.
 
Wassalam,
Armansyah
HIKMAH KEMATIAN

HARUN YAHYA






Kehidupan berlangsung tanpa disadari dari detik ke detik. Apakah anda tidak menyadari bahwa hari-hari yang anda lewati justru semakin mendekatkan anda kepada kematian sebagaimana juga yang berlaku bagi orang lain?
Seperti yang tercantum dalam ayat “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS. 29:57) tiap orang yang pernah hidup di muka bumi ini ditakdirkan untuk mati. Tanpa kecuali, mereka semua akan mati, tiap orang. Saat ini, kita tidak pernah menemukan jejak orang-orang yang telah meninggal dunia. Mereka yang saat ini masih hidup dan mereka yang akan hidup juga akan menghadapi kematian pada hari yang telah ditentukan. Walaupun demikian, masyarakat pada umumnya cenderung melihat kematian sebagai suatu peristiwa yang terjadi secara kebetulan saja.
Coba renungkan seorang bayi yang baru saja membuka matanya di dunia ini dengan seseorang yang sedang mengalami sakaratul maut. Keduanya sama sekali tidak berkuasa terhadap kelahiran dan kematian mereka. Hanya Allah yang memiliki kuasa untuk memberikan nafas bagi kehidupan atau untuk mengambilnya.
Semua makhluk hidup akan hidup sampai suatu hari yang telah ditentukan dan kemudian mati; Allah menjelaskan dalam Quran tentang prilaku manusia pada umumnya terhadap kematian dalam ayat berikut ini:
Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. 62:8)
Kebanyakan orang menghindari untuk berpikir tentang kematian. Dalam kehidupan modern ini, seseorang biasanya menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang sangat bertolak belakang [dengan kematian]; mereka berpikir tentang: di mana mereka akan kuliah, di perusahaan mana mereka akan bekerja, baju apa yang akan mereka gunakan besok pagi, apa yang akan dimasak untuk makan malam nanti, hal-hal ini merupakan persoalan-persoalan penting yang sering kita pikirkan. Kehidupan diartikan sebagai sebuah proses kebiasaan yang dilakukan sehari-hari. Pembicaraan tentang kematian sering dicela oleh mereka yang merasa tidak nyaman mendengarnya. Mereka menganggap bahwa kematian hanya akan terjadi ketika seseorang telah lanjut usia, seseorang tidak ingin memikirkan tentang kematian dirinya yang tidak menyenangkannya ini. Sekalipun begitu ingatlah selalu, tidak ada yang menjamin bahwa seseorang akan hidup dalam satu jam berikutnya. Tiap hari, orang-orang menyaksikan kematian orang lain di sekitarnya tetapi tidak memikirkan tentang hari ketika orang lain menyaksikan kematian dirinya. Ia tidak mengira bahwa kematian itu sedang menunggunya!
Ketika kematian dialami oleh seorang manusia, semua “kenyataan” dalam hidup tiba-tiba lenyap. Tidak ada lagi kenangan akan “hari-hari indah” di dunia ini. Renungkanlah segala sesuatu yang anda dapat lakukan saat ini: anda dapat mengedipkan mata anda, menggerakkan badan anda, berbicara, tertawa; semua ini merupakan fungsi tubuh anda. Sekarang renungkan bagaimana keadaan dan bentuk tubuh anda setelah anda mati nanti.
Dimulai saat anda menghembuskan napas untuk yang terakhir kalinya, anda tidak ada apa-apanya lagi selain “seonggok daging”. Tubuh anda yang diam dan terbujur kaku, akan dibawa ke kamar mayat. Di sana, ia akan dimandikan untuk yang terakhir kalinya. Dengan dibungkus kain kafan, jenazah anda akan di bawa ke kuburan dalam sebuah peti mati. Sesudah jenazah anda dimasukkan ke dalam liang lahat, maka tanah akan menutupi anda. Ini adalah kesudahan cerita anda. Mulai saat ini, anda hanyalah seseorang yang namanya terukir pada batu nisan di kuburan.
Selama bulan-bulan atau tahun-tahun pertama, kuburan anda sering dikunjungi. Seiring dengan berlalunya waktu, hanya sedikit orang yang datang. Beberapa tahun kemudian, tidak seorang pun yang datang mengunjungi.
Sementara itu, keluarga dekat anda akan mengalami kehidupan yang berbeda yang disebabkan oleh kematian anda. Di rumah, ruang dan tempat tidur anda akan kosong. Setelah pemakaman, sebagian barang-barang milik anda akan disimpan di rumah: baju, sepatu, dan lain-lain yang dulu menjadi milik anda akan diberikan kepada mereka yang memerlukannya. Berkas-berkas anda di kantor akan dibuang atau diarsipkan. Selama tahun-tahun pertama, beberapa orang masih berkabung akan kepergian anda. Namun, waktu akan mempengaruhi ingatan-ingatan mereka terhadap masa lalu. Empat atau lima dasawarsa kemudian, hanya sedikit orang saja yang masih mengenang anda. Tak lama lagi, generasi baru muncul dan tidak seorang pun dari generasi anda yang masih hidup di muka bumi ini. Apakah anda diingat orang atau tidak, hal tersebut tidak ada gunanya bagi anda.
Sementara semua hal ini terjadi di dunia, jenazah yang ditimbun tanah akan mengalami proses pembusukan yang cepat. Segera setelah anda dimakamkan, maka bakteri-bakteri dan serangga-serangga berkembang biak pada mayat tersebut; hal tersebut terjadi dikarenakan ketiadaan oksigen. Gas yang dilepaskan oleh jasad renik ini mengakibatkan tubuh jenazah menggembung, mulai dari daerah perut, yang mengubah bentuk dan rupanya. Buih-buih darah akan meletup dari mulut dan hidung dikarenakan tekanan gas yang terjadi di sekitar diafragma. Selagi proses ini berlangsung, rambut, kuku, tapak kaki, dan tangan akan terlepas. Seiring dengan terjadinya perubahan di luar tubuh, organ tubuh bagian dalam seperti paru-paru, jantung dan hati juga membusuk. Sementara itu, pemandangan yang paling mengerikan terjadi di sekitar perut, ketika kulit tidak dapat lagi menahan tekanan gas dan tiba-tiba pecah, menyebarkan bau menjijikkan yang tak tertahankan. Mulai dari tengkorak, otot-otot akan terlepas dari tempatnya. Kulit dan jaringan lembut lainnya akan tercerai berai. Otak juga akan membusuk dan tampak seperti tanah liat. Semua proses ini berlangsung sehingga seluruh tubuh menjadi kerangka.
Tidak ada kesempatan untuk kembali kepada kehidupan yang sebelumnya. Berkumpul bersama keluarga di meja makan, bersosialisasi atau memiliki pekerjaan yang terhormat; semuanya tidak akan mungkin terjadi.
Singkatnya, “onggokkan daging dan tulang” yang tadinya dapat dikenali; mengalami akhir yang menjijikkan. Di lain pihak, anda – atau lebih tepatnya, jiwa anda – akan meninggalkan tubuh ini segera setelah nafas anda berakhir. Sedangkan sisa dari anda – tubuh anda – akan menjadi bagian dari tanah.
Ya, tetapi apa alasan semua hal ini terjadi?
Seandainya Allah ingin, tubuh ini dapat saja tidak membusuk seperti kejadian di atas. Tetapi hal ini justru menyimpan suatu pesan tersembunyi yang sangat penting
Akhir kehidupan yang sangat dahsyat yang menunggu manusia; seharusnya menyadarkan dirinya bahwa ia bukanlah hanya tubuh semata, melainkan jiwa yang “dibungkus” dalam tubuh. Dengan lain perkataan, manusia harus menyadari bahwa ia memiliki suatu eksistensi di luar tubuhnya. Selain itu, manusia harus paham akan kematian tubuhnya - yang ia coba untuk miliki seakan-akan ia akan hidup selamanya di dunia yang sementara ini -. Tubuh yang dianggapnya sangat penting ini, akan membusuk serta menjadi makanan cacing suatu hari nanti dan berakhir menjadi kerangka. Mungkin saja hal tersebut segera terjadi.
Walaupun setelah melihat kenyataan-kenyataan ini, ternyata mental manusia cenderung untuk tidak peduli terhadap hal-hal yang tidak disukai atau diingininya. Bahkan ia cenderung untuk menafikan eksistensi sesuatu yang ia hindari pertemuannya. Kecenderungan seperti ini tampak terlihat jelas sekali ketika membicarakan kematian. Hanya pemakaman atau kematian tiba-tiba keluarga dekat sajalah yang dapat mengingatkannya [akan kematian]. Kebanyakan orang melihat kematian itu jauh dari diri mereka. Asumsi yang menyatakan bahwa mereka yang mati pada saat sedang tidur atau karena kecelakaan merupakan orang lain; dan apa yang mereka [yang mati] alami tidak akan menimpa diri mereka! Semua orang berpikiran, belum saatnya mati dan mereka selalu berpikir selalu masih ada hari esok untuk hidup.
Bahkan mungkin saja, orang yang meninggal dalam perjalanannya ke sekolah atau terburu-buru untuk menghadiri rapat di kantornya juga berpikiran serupa. Tidak pernah terpikirkan oleh mereka bahwa koran esok hari akan memberitakan kematian mereka. Sangat mungkin, selagi anda membaca artikel ini, anda berharap untuk tidak meninggal setelah anda menyelesaikan membacanya atau bahkan menghibur kemungkinan tersebut terjadi. Mungkin anda merasa bahwa saat ini belum waktunya mati karena masih banyak hal-hal yang harus diselesaikan. Namun demikian, hal ini hanyalah alasan untuk menghindari kematian dan usaha-usaha seperti ini hanyalah hal yang sia-sia untuk menghindarinya:
Katakanlah: “Lari itu sekali-kali tidaklah berguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian atau pembunuhan, dan jika (kamu terhindar dari kematian) kamu tidak juga akan mengecap kesenangan kecuali sebentar saja.” (QS. 33:16)
Manusia yang diciptakan seorang diri haruslah waspada bahwa ia juga akan mati seorang diri. Namun selama hidupnya, ia hampir selalu hidup untuk memenuhi segala keinginannya. Tujuan utamanya dalam hidup adalah untuk memenuhi hawa nafsunya. Namun, tidak seorang pun dapat membawa harta bendanya ke dalam kuburan. Jenazah dikuburkan hanya dengan dibungkus kain kafan yang dibuat dari bahan yang murah. Tubuh datang ke dunia ini seorang diri dan pergi darinya pun dengan cara yang sama. Modal yang dapat di bawa seseorang ketika mati hanyalah amal-amalnya saja.

Qowlul Haqqi Wa Kalamus Shidqu Huwa Waroghatul Ichlas Allattamami
Perkataan yang hak dan kalimah yang benar, harus diiringi dengan perbuatan yang benar menuju kesempurnaan kebenaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar