Sabtu, 23 November 2013

Bercermin Pada Kaum Mu`tazilah


BERCERMIN PADA KAUM MU'TAZILAH
DALAM MEMAHAMI AJARAN DASAR ISLAM SECARA RASIONAL

Secara umum, Islam sebagai suatu sistem ajaran dapat dikategorikan menjadi dua bagian; Aqidah dan Syari'ah. Pada bagian pertama (aqidah) sistem ajaran Islam terfokus pada persoalan-persoalan dasar ajaran Islam, misalnya mengenai tuhan, rasul, hari akhir dsb. Bagian ini adalah prinsip-prinsip Islam. Pada bagian kedua, ajaran Islam banyak berkaitan hubungan dengan hal-hal teknis operasinal ketika seseorang menjalani hidup, misalnya ibadah ritual dan sejumlah aturan yang berhubungan dengan kehidupan pribadi atau sosial, atau privat dan umum . Kalau dikaitkan dengan pembagian yang  kemukakan ulama lain, pada bagian kedua ini, ajaran Islam dibagi lagi menjadi empat macam permasalahan; Ibadah, Muna'kahah, Muamalah Dan Jina'yah. Beberapa ulama memberikan istilah lain pada bagian pertama, yaitu ajaran-ajaran dasar Islam, misalnya Teologi, Ushuluddin, atau Kalam.
Dalam perjalanan sejarah umat Islam, pembahasan mengenai ajaran-ajaran yang menyangkut aqidah telah menjadi suatu permasalahan yang sangat serius. Hal ini terjadi bukan saja karena masalah tersebut dianggap rumit dan abstrak sehingga para ulama dituntut keras untuk menjabarkannya secara jelas, tetapi permaslahan ini juga sangat dianggap penting karena akan terkait dengan sikap muslim dengan orang lain yang dianggap non-muslim. Ini menuntut sebuah pendefenisian yang tidak ambingu atau kabur antara muslim dan non muslim Dalam konteks sosial permasalahan ini kerapkali menimbulkan berbagai peristiwa kekerasan... Adanya kekerasan yang pada zaman tertentu telah menimbulkan perang bersaudara, factor utamanya adalah suatu fakta bahwa sering suatu aliran dengan pahamnya erat terkait dengan kepentingan politik. Akibatnya, orang lain yang tidak sepaham identik menjadi lawan politik. Konsekuensinya adalah harus disingkirkan oleh penguasa tertentu . Atau penguasa sendiri harus dijatuhkan.  
Kalau kembali pada sejarah, paling tidak tercatat ada empat aliran pemikiran yang saling bergulat dalam menjabarkan ajaran-ajaran dasar Islam yang kesemuanya merasa diri bahwa mereka paling benar, Kh'awarij, Murji'ah, Mu'tazilah, Maturudiyah dan Al-Asa'riyah. Aliran yang paling mencolok dalam keterkaitannya dengan kepentingan-kepentingan politik adalah, Al-Asa'riyah dan Mu'tazilah. Mu'tazilah didukung oleh kekuatan politik dinasti Abbasiyah sedangkan al-As'ariyah erat terkait denagn gerakan penentang kebijakan-kebijakan diansti Abb'asiah yang sedang memerintah dunia muslim saat itu.

Sejarah mencatat bahwa umat Islam mengalami kemajuan peradaban [jaman keemasan Islam], khususnya di bidang ilmu pengetahuan seperti kedokteran, astronomi dan arsitektur ketika kekhalifahan berada di bawah kekuasaan dinasti Abasiyyah, tepatnya ketika Harun al-Rasyid memimpin pemerintahan. Kemajuan ini tentunya tidak mungkin terwujud apabila kebebasan mansuia untuk berpikir dan mengadakan penelitian-penelitian ilmiah dikekang. Dalam konteks ini, Mu'tazilah sebagai suatu aliran yang mengedepankan pemikiran rasional, khususnya dalam memahami ajaran-ajaran dasar Islam adalah factor lain yang menyebabkan terjadinya kemajuan peradaban dalam dunia Islam.

Tidak salah kalau atas dasar itu, maka mengkaji kembali secara mendalam, kritis dan komprehensip  mengenai Mu'tazilah sebagai sebuah aliran pemikiran Islam dengan cara pandang baru menjadi suatu kemestian untuk mengingkatkan peradaban umat Islam hari ini. Cara pandang baru tersebut adalah mengkaji kembali Mu'tazilah dari sisi corak pemikiran, bukan pada aspek sejarahnya, karena hal itu telah telah relatif selesai dilakukan umat Islam terdahulu. Ketika suatu pengkajian terus-menerus dipaksakan pada aspek sejarah, maka yang akan timbul adalah romantisme sejarah. Apalagi kondisi umat Islam yang sekarang sedang mengalami keterbelakangan, maka besar kemungkinan hal ini akan terjadi.

Sejarah Mu`tazilah

Mu`tazilahberkembang pesat pada akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, yaitu ketika mazhab ini mereka mendapat dukungan kuat dari Pangeran Yazid bin al-Walid. Mulanya pada saat ayah Pangeran Yazid bin al-Walid, yaitu Khalifah al Walid (125—-126 H) memerintah secara semena-mena dan menunjukkan perilaku yang melampaui batas, ia kerap berpestapora dan mabuk-mabuknya. Pangeran Yazid bin al-Walid kemudian mengibarkan bendera pemberontakan, Yazid merasa perlu melakukan pemberontakan karena dalam paham Mu`tazilahyang diyakininya, seseorang harus melaksanakan kebaikan dan menjauhi kejahatan (amar ma’ruf nahy munkar). Lalu dengan pasukan tentara yang besar yang ke­banyakan terdiri dari para pengikut Mu’tazillah, dia menyerang ayahnya. Sang Khalifah, al-Walid,  kemudian dimasukkan ke dalam penjara dan dihukum mati, Pangeran Yazid bin al-Walid mengambil alih kekuasaan.
Dengan berkuasa­nya Yazid, aliran Mu’tazillah memperoleh kekuatan, sehingga tumbuh dengan subur. Perlu ditambahkan bahwa ‘Amr bin ‘Ubaid –salah seorang ulama Mu`tazilahsaat itu-- turut serta memimpin pem­berontakan itu.
Mu’tazillah terus berkembang dengan pesatnya di bawah perlindungan Barmakid pada zaman rejim Abbasiyah, walaupun Harun al-Rasyid sendiri menentangnya. Terhadap aliran itu terdapat dua orang pendukung yang tangguh dari ulama terpelajar, yaitu, Abul Hudzail dan Ibrahim bin Sayyar Nazzam. Abul Hudzail adalah pengarang buku-buku (beberapa di antaranya disebutkan di dalam buku karya Ibnu an-Nadim, Fihrist, seperti buku Penyangkalan Kaum Zindiq. Penyangkalan Kaum Dualis, Penyangkalan Kaum Aliterialis, dan sebagai­nya) yang berusaha mempopulerkan aliran itu di antara para ulama dan pemikir Islam. Dia memiliki ilmu pengetahuan agama dan ilmu filsafat yang luas. Pernyataannya tegas, metoda argumentasinya jarang mengalami kegagalan dalam meyakinkan orang lain sekalipun musuhnya yang paling keras. Yang kedua (yaitu Nazzam) adalah salah seorang murid Abul Hudzail, dia meneruskan tugas guru besarnya. Dia benar-benar seorang ilmuwan yang bukan saja ahli dalam ilmu filsafat tetapi juga dalam studi kitab-kitab suci agama lain.
Pengganti Khalifah Harun Al-Rasyid, yaitu Ma’mun al-Rasyid merupakan pendukung utama  Mu’tazillah yang cukup gigih. Dalam kekuasaannya, Mu`tazilahmenjadi mazhab negara dan membuat aliran ini me­nyebar ke seluruh penjuru kerajaan Islam. Khalifah Ma’mun al-Rasyid sendiri mengikuti prinsip-prinsip aliran itu dan ajaran-ajaran­nya serta berusaha memantapkannya. Disamping itu Khalifah Ma’mun al-Rasyid  membentuk kelompok debat yang besar, yang anggota-anggotanya terdiri dari ilmuwan dari semua kepercayaan dan aliran, dan dia sendiri turut serta pada kelompok itu. Menurut catatan mengenai masa itu, sarjana-sarjana non-Muslim yang menyerang ajaran­-ajaran Islam dengan senjata filsafat diundang, mereka diajak berdebat saling menyerang dan mempertahankan keyakinan dan pengetahuannya. Konon, saat itu termasuk Yazdan Bakht, pe­mimpin Sekte Maniceanisme, diundang untuk berdebat dengan Abul Hudzail, dan saat itu Yazdan Bakht dikalahkan secara memalukan.
Setelah Ma’mun, dua khalifah Baghdad berikut­nya, yaitu, al Mu’tashim dan al-Wathiq memperlaku­kan golongan rasionalis itu dengan baik. Qadi Ahmad bin Dawud, seorang ulama Mu’tazilah yang menjabat ketua peradilan Kerajaan Islam selama masa pe­merintahan kedua khalifah tersebut, menyebarkan prinsip-prinsip Mu’tazilah ke seluruh wilayah hukumnya. Dengan demikian aliran ini torus ber­kembang, dan di dalam abad keempat Hijriah, tafsir al-Qur’an disusun oleh orang-orang Mu’tazillah menurut dasar akal.
Setelah Khalifah al-Wathiq meninggal, hampir semua khalifah menentang aliran Mu’tazillah, dan beberapa di antaranya melakukan penyiksaan ter­hadap para pengikut Mu’tazillah hanya karena mereka pengikut paham rasio (Rasionalis). Karena tindakan penekanan dari pemerintah itulah, maka dilakukanlah cara moderat oleh Abul Hasan al-Asy’ari yang menggabungkan pola pemikiran salaf (non-rasional) dengan pola pemikiran Mutazilah. Pemikiran Asyariyah berkembang pesat dan menggantikan pemikiran Mutazilah. Dalam jangka waktu satu setengah abad aliran Mu’tazillah menjadi tidak populer.

Pemikiran Mutazilah

Pemikiran Mu`tazilah selain berhadapan dengan permasalahan kalam yang telah dimunculkan Khawarij, Murji`ah, Jabariyah dan Qadariyah; juga berhadapan dengan masalah-masalah baru dari pemikiran luaran. Dalam hubungannya dengan pemikiran kalam sebelumnya, Mu`tazilahmemberikan pemikiran baru, yaitu:
1)      Mu`tazilah percaya bahwa iman terkait dengan pengetahuan, dan pengetahuan itu didapatkan melalui rasio spekulatif. Pada tahap ini sama dengan pemikiran Murji`ah.
2)      Mu`tazilah percaya bahwa iman dapat menaik dan menurun (ini berbeda dari Murji`ah)
3)      Mutazilah, sebagaimana juga Murji`ah, tidak mau menyebut pendosa besar sebagai kafir atau juga sebagai seorang mukmin. Pendosa besar juga tidak secara otomatis dimasukkan ke dalam neraka.

Sedang dalam hubungannya dengan pemikiran luar, Mu`tazilah melakukan proses apropriasi, atau ada juga yang ditolak sama sekali. Pemikiran Hermetis dan Manicean yang menganggap “tidak adanya sifat-sifat Tuhan”, misalnya, mempengaruhi pemikiran Mutazilah. Bagi pemikir Mutazilah, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat. Pemikiran mengenai akal sebagai pancaran dari diri Tuhan, dari Neoplatonisme, rupanya juga mempengaruhi pemikiran Mu`tzailah yang menegaskan bahwa akal adalah piranti dalam diri manusia yang memberi petunjuk bagi kebebasannya. Dalam kaitannya dengan pemikiran luaran ini, Mu`tazilah memiliki pemikiran mengenai 1) Keadilan Tuhan dan Kebebasan Manusia; 2) Penciptaan al-Quran dan Iman

Iman dan Perbuatan

Bagaimana konsepsi Mu’tazilah mengenai hubungan iman dengan perbuatan? Jika merunut pada pemikiran Wasil bin Atha, jawabannya sangat sederhana, yaitu bahwa pendosa besar itu tidak bisa disebut tetap beriman sekaligus juga tidak dapat dikatakan telah kafir. Pendosa besar itu disebut fasik, yang akan ditempatkan di antara surga dan neraka (manzilat bayn al-manzilatayn).
Perbuatan amatlah penting sebagai bentuk kepatuhan dari iman yang telah diyakini seseorang. Kepatuhan merupakan suatu ‘tiang’ dan esensi nyata iman, sehingga siapa pun yang menga­baikannya maka dapat dikatakan bahwa dia bukanlah seorang yang beriman. Kepatuhan dalam tindakan dengan demikian menjadi salah satu bagian dari tindak iman. Tetapi pertanyaan lain muncul, apakah perbuatan itu bagi Mu`tazilah merupakan syarat perlu bagi keimanan?
Dalam diri kelompok Mu`tazilah ada kelompok pemikir yang menyatakan bahwa “ketidakpatuhan akan menyebabkan seorang muslim masuk ke dalam Neraka bersama dengan orang kafir dan mereka tinggal di dalamnya selama-lamanya, dan bahwa walaupun hanya satu tindakan kepatuhan yang dilalaikan, cukuplah untuk ditolaknya iman seseorang”. Kelompok ini disebut sebagai Wa’idiyyah, atau pengancam.
Pemikir lain dari Mu`tazilah, al-Sharif al-­Murtada mengung­kapkan pernyataan yang berbeda, tidak seekstrem kelompok Waidiyyah. al-Sharif al-Murtada menyatakan:
“Kita tidak dapat menjadi seorang yang percaya tanpa ‘melakukan perbuatan’, tetapi ‘melakukan perbuatan ’ saja tidak dapat membuat orang masuk Surga.”
Untuk memperjelas pendiriannya ini, Murtada menuliskan komentar terhadap sebuah hadits berikut:

Hadist ini diriwayatkan oleh  Abu Hurayrah: Nabi) pernah bersabda, ‘Apa pun yang dilakukan oleh seseorang tidak akan membuatnya masuk Surga, mau­pun menyelamatkannya dari Neraka.’ Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi, ‘Bahkan anda sendiri, ya Nabi Tuhan?’ Beliau men3awab, ‘Tidak tere­cuali aku’ (dan kemudian menambahkan) ‘Kecuali jika Tuhan memberiku kasih dan rida-Nya.’ Beliau mengulangi kalimat terakhir ini tiga kali.”
(Penje­lasan dari Murtada:) Hal terpenting dan Hadits ini menjelaskan bahwa semua manusia yang secara legal bertanggung jawan (tidak bersifat independen, tetapi) akan memerlukan Tuhan, sehingga mereka membutuhkan rida Tuhan, pertolongan dan bantuan-Nya. Hadits ini juga mencoba menunjukkan bahwa jika Tuhan tidak bersedia untuk memberikan pertolongan dan rida-Nya kepada manusia, meninggalkan manusia seorang diri, maka manusia itu tidak akan pernah dapat masuk Surga dan melepaskan dirinya dari Neraka dengan ‘amalnya. Oleh karena itu, (bagian pertama dari Hadits ini) harus dipahami dalam pengertian bahwa manusia tidak akan pernah masuk Surga dengan perbu­atannya yang dilakukannya tanpa pertolongan, rida, dan petunjuk Tuhan.

Sementara pemikir Mu’ta­zilah lain, Zamakhshar memberikan komentar atas Surah X ayat 98 mengatakan: “Ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa jenis iman yang mendapatkan bimbingan Ilahi, bantuan serta cahaya-Nya pada Hari Kiamat adalah iman yang dikhususkan oleh suatu kondisi, yaitu iman yang disertai dengan perbuatan  baik, dengan menunjukkan bahwa seorang manusia yang imannya tidak disertai dengan perbuatan  baik tidak akan diberi pertolongan maupun cahaya Ilahi”. Kemudian Zamakhsari menegaskan bahwa, “Seseorang yang tidak mempunyai keyakinan hati  maka dia adalah munafik, yang dalam hal ini, dia mungkin memberikan kesaksian secara verbal [bahwa dia beriman] dan melakukan perbuatan  baik. Orang yang tidak melakukan pengakuan verbal disebut kafir, sementara orang yang tidak ‘melakukan perbuatan ’ dikatakan orang yang  fasiq”.
Perbuatan rupanya menjadi bagian dari syarat iman, namun bukan sebagai syarat perlu; atau bukan sebagai esensi iman. Perbuatan hanyalah pelengkap, atau penyempurna dari pengetahuan, tasdiq, yang telah dimiliki seseorang. Inti iman adalah tashdiq, sementara tindakan merupakan pelengkap yang menegaskan kondisi keimanan dalam hati. Konsekuensi dari konsepsi ini, perbuatan sebagai pelengkap saja, adalah bahwa pendosa besar tidak secara otomatis disebut sebagai kafir.  Dosa besar terkait dengan tindakan fisik yang menyimpang dari aturan, sedang iman merupakan peristiwa ruhaniah (pengetahuan). Seseorang yang berdosa besar, tidak secara otomatis menunjukkan bahwa dirinya tidak lagi beriman. Paling-paling itu semua menunjukkan bahwa daya pegetahuan imannya tidak lagi memiliki daya untuk menggerakkan diri pada tindakan yang baik (menuruti seruan amar ma`ruf nahy munkar).
Namun ada persoalan lain dari pendapat Abdul Jabbar yang meyakini bahwa iman itu bisa naik dan turun:
“Sudah ditentukan bahwa semua yang kita sebut sebagai iman bisa meningkat dan menurun, karena kewajiban agama dilakukan oleh sebagian hamba lebih besar ketimbang (yang dilakukan) oleh yang lain, dan sebagian lagi melakukan lebih banyak ketimbang yang lain.”
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa yang menjadi pengukur naik turunnya iman adalah ketaatan melakukan kewajiban agama. Tindakan menjadi pengukur tingkat keimanan. Jika demikian bisakah dikatakan bahwa tindakan merupakan esensi (atau syarat perlu) dari iman?
            Menurun dan menaiknya iman karena tindakan tidak berarti bahwa tindakan merupakan syarat perlu bagi iman. Jika a menjadi syarat perlu bagi x, maka tidak adanya a akan berarti tidak adanya x; sementara jika b menjadi syarat cukup bagi x, maka ketiadaan b hanya berarti bahwa x tidak tampil sempurna (menurun). Dalam hal ini, dapat ditegaskan bahwa konsepsi “menurun dan menaiknya” iman lewat tindakan merupakan pernyataan implisit, bahwa tindakan hanyalah syarat cukup dan bukan yang esensi bagi iman. Dengan kata lain, istilah “menaik menurun” merupakan petunjuk bahwa iman itu tidak pernah menghilang, sedosa apapun seseorang iman tak bisa menghilang; paling-paling hanya menurun. Iman dengan demikian terkait dengan tashdiq dalam arti pengetahuan.

Batas-Batas Iman dan Pengetahuan

            Jika iman adalah pengetahuan, atau jika iman disebabkan oleh adanya pengetahuan; pertanyaannya adalah (1) dari mana pengetahuan itu didapatkan?  (2) apa sajakah obyek pengetahuannya? (3) bagaimana posisi wahyu?
            Tentang persoalan ini, Mu`tazilahmengemukakan bahwa akal spekulatiflah yang mengantarkan kita pada iman. Jadi jika ada pertanyaan, dengan melalui apakah manusia mengetahui Tuhan? Mu`tazilahmenjawab, dengan akal. Akal adalah kekuatan yang dimiliki oleh semua manusia untuk berpikir logis.
Qadi Abdul Jabbar meyakini bahwa pengetahuan melalui akal dapat mengantarkan kita pada kesadaran akan adanya Tuhan. Alasan yang mendasarinya adalah hierarki daya pengetahuan manusia. Manusia secara memiliki tiga daya untuk mengetahui, indera, rasio dan intuisi. Bagi Abdul Jabbar, indra tidak mungkin membayangkan Tuhan demikianpun dengan intuisi. Tuhan hanya dapat diketahui melalui refleksi dan spekulasi. Akal menuntun manusia untuk menemukan kesimpulan bahwa ada Tuhan yang menjadi sumber bagi kehidupan. Kemudian melalui bukti-bukti dalam kenyataan kehidupan manusia dapat meneruskan temuan pengetahuannya mengenai segala hal mengenai Tuhan bahkan mengenai apa yang wajib dilakukan oleh manusia. Untuk memperjelas, berikut dikutipkan pemikiran Qadi Abdul Jabbar:
Kemudian kalau ditanyakan: Apakah bukti yang bisa membuat nalar spekulatif membawa kepada pengetahu­an tentang Tuhan?
Katakanlah kepadanya: Diriku sendiri (nafsi) dan apa yang aku lihat pada tubuh (fisik).
Kemudian kalau ditanyakan: Bagaimana diri anda sendiri bisa menjadi bukti adanya Tuhan?
Katakan kepadanya: Karena aku menemukan diriku dalam keadaan sempuma, dan mustahil bagiku untuk menciptakan sesuatu seperti diriku atau sebagian dari diriku. Jadi, a fortiori, ketika aku dalam keadaan asliku tidak bisa meneteskan sperma untuk menciptakan diriku, maka aku tahu bahwa aku memiliki pencipta dan perancang yang hebat, dan dia adalah selain aku, dan Dialah Tuhan.
Kemudian kalau ditanyakan: Bagaimana hal ini memberi bukti [adanya] Tuhan?
Katakan kepadanya: Karena aku tahu, tubuh pasti bergerak, diam, berhubungan, dan terpisah, semua itu baharu. Jadi, tubuh pasti baharu (muhdats) karena sesuatu yang fana (hawadits) tidaklah kekal.
Nah, terlihat jelas bagaimana Mu`tazilahmenegaskan pentingnya akal spekulatif sebagai pengawal terciptanya pengetahuan mengenai Tuhan dan hal ihwal mengenai-Nya.
Menurut Harun Nasution, dengan mengutip Syahrastani, bahwa obyek pengetahuan imani adalah (1) mengetahui Tuhan; (2) kewajiban mengetahui Tuhan; (3) mengetahui baik dan buruk; (4) kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat. Kemudian Harun Nasution menuliskan:
“Bagi Kaum Mu`tazilahsegala pengetahuan dapat diperoleh dengan pengantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterima kasih kepada Tuha sebelum turunnya wahyu adalah wajib. Baik dan jahat wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat, adalah pula wajib”.
Lalu bagaimana posisi wahyu?
            Fungsi wahyu bagi manusia secara umum sebagai pemberi, informasi dan konfirmasi, “memperkuat apa yang telah diketahui akal manusia dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal, dan dengan demikian menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh akal.” Dan bagi Mutazilah, wahyu dianggap lebih berperan  banyak dalam memberikan fungsi “konfirmatif ketimbang informatif”. Yang diberikan oleh wahyu itu adalah:
(1)   Memberikan penjelasan mengenai detail-detail praktis dari yang telah disimpulkan oleh akal. Misalnya, kewajiban berterima kasih pada Tuhan dapat disimpulkan oleh akal, namun cara berterima kasih diberikan oleh wahyu.
(2)   perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat
(3)   menguji manusia, siapa yang patuh siapa yang tidak patuh
(4)   mengingatkan manusia akan kelalaian  dan memperpendek jalan untuk mengetahui Tuhan
Uraian di atas mempertegas posisi Mu`tazilahdalam perkembangan Kalam. Setelah Murji`ah menggagas bahwa iman terkait dengan tashdiq dalam arti “pengetahuan”, Mu`tazilah menegaskan kelanjutannya. Yaitu, karena iman adalah tasdiq, dan tasdiq adalah pengetahuan maka akal menjadi piranti utama untuk mengetahui Tuhan dan hal ihwal menganai hubungan manusia dan Tuhan. Sementara wahyu,menurut Harun Nasution,  hanyalah pelengkap atau konfirmatif saja. Mengenai hal ini, Fazlur Rahman berbeda pendapat dengan Harun Nasution, dengan mengutip George Hourani, Rahman berpendapat bahwa akal tanpa bantuan wahyu sanggup menghasilkan etika primer, yaitu baik-buruk, wajib dan tidak wajib; sementara wahyu menghasilkan etika sekunder (yaitu bagaimana praktek dari kesadaran wajib/tidak wajib, baik/buruk). Akal semata tidak dapat menentukan tindakan-tindakan yang harus dilakukan atau dihindari agar lebih mendekati pada pencarian kehidupan etis yang benar; karena itu wahyu diperlukan sebagai rujukan.
            Akal dalam pemikiran Mu’tazilah begitu dominan, bahkan wahyu hanyalah pelengkap dan pemberi informasi etika sekunder. Pemikiran ini menyiratkan pendirian Mu`tazilah mengenai tindakan manusia, melalui akal tindakan manusia menjadi mandiri tidak tergantung pada kehendak Tuhan. Maksudnya, bila akal sanggup mengetahui apa wajib dia lakukan tentulah tindakannya itu disebabkan oleh kesadaran dirinya sendiri, bukan digerakkan oleh Tuhan.
            Jika dikaitkan dengan Rukun Iman Mutazilah [yang terdiri dari 1) Tauhid, 2) al-Waid-wal Wa’id; 3) Keadilan Ilahi, 4) Manzilah Bayn al-Manzilatayn, 5) Amar Ma’ruf Nahy Munkar], kita akan menemukan relasi logis teori iman dengan kebebasan manusia. Tuhan telah memberikan seruntut janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id) secara adil, melalui akal yang ada dalam diri manusia, orang beriman dapat menentukan sendiri jenis tindakannya. Akal menelusuri diri dan kehidupannya untuk menemukan tindakan yang tepat terhadap apa yang diimaninya. Melalui akal spekulatif manusia dapat menemukan obyek pengetahuan (Tuhan, dan kewajiban terhadap-Nya), dengan pengetahuan itu manusia tergerak untuk melakukan tindakan berdasarkan kehendaknya sendiri. Ketentuan surga dan neraka ditentukan secara adil berdasar kesesuaian antara tindakan dengan ketentuan Tuhan (al-wa’d wa al-wa’id). Jika seseorang berbuat dosa besar, sedang dalam hatinya masih ada iman, ia tak akan dimasukkan ke neraka; keadilan Tuhan akan memasykkannya ke dalam manzilat bayn al-manzilatayn.  Bila Tuhan memasukkannya ke Neraka, itu berarti Tuhan tidak adil dan mengingkari ketentuannya (bahwa hanya yang tidak beriman saja yang akan dimasukkan ke neraka). Dan agar Tuhan benar-benar Adil, Tuhan tidak akan turut campur dalam tindakan manusia, Dia akan memberi kebebasan berkehendak pada manusia.
            Lebih lengkap mengenai Keadilan Tuhan, mari kita teruskan pada konsep Keadilan dan Penciptaan Iman.

Konsep Keadilan dan Penciptaan Iman

Dari pendapat utama yang dijunjung tinggi oleh Mu’tazilah pan­tas memperoleh perhatian dalam hubungannya dengan pengaruh mereka terhadap konsep Iman. Yang pertama adalah pendapat Mu’tazilah yang khas mengenai ‘keadilan’ ‘adl Ilahi; yang kedua mengenai “al-Quran merupakan makhluk”.
Tentang Keadilan, Qadi Abdul Jabbar menulis:

Kemudian kalau ditanyakan: Terangkanlah kepadaku tentang keadilan [al-’adl] (Tuhan), apa maksud­nya?
Katakan kepadanya: ini adalah pengetahuan tentang Tuhan yang dipalingkan dari segala sesuatu yang secara moral adalah salah dan bahwa semua per­buatannya secara moral adalah baik. Ini diterang­kan oleh kenyataan bahwa semua manusia melakukan ketidak-adilan dan pelanggaran (jawr) dan hal seperti itu bukanlah ciptaan-Nya. Siapa saja yang mensifatkan ini kepada-Nya, (berarti) telah menganggap ketidakadilan dan kebiadaban berasal dari-Nya, dan demikian itu menyimpang dari doktrin keadilan.
[a] Anda tahu bahwa Tuhan tidak membebankan keimanan kepada orang kafir tanpa memberinya kekuatan untuk beriman, dan Tuhan juga tidak membebankan kepada manusia apa yang mereka tidak sanggup untuk melakukan­nya, tapi Dia hanya memberi orang kafir pilihan untuk menjadi kafir dari pihaknya dirinya sendiri, bukan dari pihak Tuhan.
[b] Dan anda tahu bahwa Tuhan tidak menghendaki, berhasrat, atau menginginkan pengingkaran. Malahan dia membenci dan menghinakan pengingkaran, dan hanya menghendaki kepatuhan yang Dia inginkan, Dia pilih, dan Dia cintai.
[c] Dan anda tahu bahwa Dia tidak menghukum anak-anak musyrik di dalam neraka karena dosa ayah mereka, karena Dia berfirman: “dan tidaklah seorang melakukan dosa melainkan resikonya kembali kepada dirinya sendiri” (Q.6: 164), dan Dia tidak akan menghukum seseorang karena dosa orang lain, karena demikian itu akan salah secara moral, dan Tuhan terjauh dan semua itu.
[d] Dan anda Tahu bahwa dia tidak pernah melanggar aturannya (hukum) dan (....) bahwa Dia hanya menjadikan sakit dan penderitaan untuk mengembali­kan mereka kepada keberuntungan. Siapa saja yang mengatakan sebaliknya serta telah membenarkan bahwa Tuhan tidak adil dan telah menghubungkan kehinaan kepada-Nya.
[e] Dan anda tahu bahwa demi mereka, Dia telah melakukan yang terbaik untuk semua makhluknya, yaitu terhadap siapa yang ia bebankan kewajiban [moral dan agama] dan bahwa Dia telah memberi tahu kepada mereka apa yang telah Dia bebankan kepada mereka, dan telah menjelaskan jalan kebenaran-Nya, sehing­ga kita bisa mengikutinya, dan Dia juga telah menjelaskan jalan yang sesat (tariq al-batil) sehingga kita bisa menghindari­nya. Jadi siapa pun yang berbuat binasa, maka itu setelah (semuanya diberikan) penjelasan.
[f] Dan anda tahu bahwa semua nikmat yang kita dapatkan berasal dari Tuhan, seperti yang telah Dia firmankan;” apa saja ni’mat yang ada pada kamu, maka itu semua berasal dari Allah” (Q.16:53), (apakah) nikmat itu datang kepada kita (langsung) dari-Nya atau dari yang lain.
[g] Jadi bilamana anda mengetahui (semua) ini, maka anda bisa mengetahui keadilan (Tuhan).

Selintas pernyataannya tampak tidak membahayakan, karena hanya merupakan pene­gasan empatik tentang kesempurnaan keadilan Tuhan, yaitu kebera­daan-Nya yang mutlak bebas dan segala ketidakadilan. Dalam kenyataannya, konsep ini me­munculkan permasalahan yang serius, karena bagaimanapun, pada sisi yang berlawanan konsep ini menunjukkan tanggung jawab manusia, yang dengan demikian, juga kebebasan manusia. Yang kemudian dipahami, pernyataan ini merusak kedaulatan serta kemahakuasaan Tuhan sampai pada tingkatan tertentu.
Pada mulanya, pernyataan tentang keadilan Ilahi diajukan dengan maksud untuk memindahkan beban tanggung jawab perbuatan buruk manusia dan Tuhan kepada manusia. Tetapi pernyataan ini kemudian memunculkan pandangan yang bersifat bid’ah, “apapun yang dilakukan manusia, maka dia melakukannya dengan kekuatan serta tanggung ja­wabnya sendiri, dan secara singkat, manusia adalah ‘pencipta’ dari per­buatannya sendiri". Suatu persoalan yang kemudian diperdebatkan oleh Asyari dan Maturidi.
Pandangan Muazilah ini bisa jadi merupakan antitesis dari pandangan Jahmiyah, yang menegaskan bahwa tidak ada tindakan atau perbuatan manusia yang ditentukan oleh manusia itu sendiri, tin­dakan itu dikaitkan dengan manusia hanya secara metaforik, dan dalam kenyataannya manusia tidak melakukan perbuatan apa pun; dia hanyalah tempat di mana Tuhan menyebabkan sesuatu terjadi.
Permasalahan kedua dari teori Mu`tazilahadalah mengenai ‘penciptaan Qur’an’, suatu permasalahan yang menim­bulkan skandal besar di kalangan masyarakat muslim pada masa awal Abbasiyyah. Secara teoretik, permasalahan ini sebagian muncul dari teori tentang sifat-sifat Tuhan. Mu’tazilah menyangkal keberadaan sifat eksternal Tuhan, karena menurut pandangan mereka jika menerima prinsip itu maka harus menerima keberadaan sejumlah kesatuan yang abadi di samping Tuhan. Karena firman (kalam) merupakan sifat Tuhan yang utama, dan karena bagaimanapun Qur’an adalah firman Tuhan, maka Mu’tazilah memandang tepat untuk menyangkal keberadaan eksternal Qur’an. Dan untuk selanjutnya mereka menegaskan bahwa Qur’an, seperti halnya semua benda lainnya, merupakan sesuatu yang diciptakan. “sesuatu selain Tuhan adalah baharu, maka mengakibatkan keniscayaan bahwa Qur’an dan ucapan Tuhan yang lainnya adalah selain Tuhan”  karena itu al-Quran secara pasti diciptakan, tidak kekal.
        Kedua soal besar ini (Keadilan dan Kebaharuan al-Quran) menghasilkan tema kalam mengenai 1) kebebasan manusia untuk melakukan tindakan apapun, dan 2) “apapun selain Tuhan adalah baru, diciptakan”. Iman, tentu saja hal selain Tuhan,  karenanya bersifat baharu dan diciptakan. Pertanyaannya, siapa yang menciptakan iman, Manusia atau Tuhan? Dengan prinsip kebebasan manusia, Mu`tazilah sepakat bahwa iman atau kafir diciptakan oleh diri manusia, bukan pemberian dari Tuhan.
 Bagi pemikir Mutazilah, merupakan suatu kesalahan jika dikatakan bahwa Tuhan yang menciptakan orang kafir, karena kufr mereka tidak mungkin diciptakan oleh Tuhan. “Tidak dapat dibayangkan bahwa Tuhan yang mutlak benar membuat seseorang menjadi kafir dengan cara men­ciptakan kufr di dalam hati orang itu. Tidak dapat dibayangkan juga bahwa Tuhan yang mutlak adil menciptakan orang kafir dan kemudian menghukum makhluk-Nya itu di dalam Neraka karena telah kafir. Tidak dapat dibayangkan bahwa Tuhan berkeinginan atau berharap untuk menciptakan dosa yang besar yaitu kufr.” 
Sementara Qadi Abd al-Jabbar pada kutipan di atas menegaskan bahwa menjadikan iman dan kafir sebagai ciptaan Tuhan atau pemberian Tuhan pada manusia akan menggugurkan keadilan Tuhan. Konsekuensi dari iman/kafir sebagai ciptaan Tuhan adalah bahwa Tuhan tidak dapat memberikan hukuman pada perbuatan kafir, padahal Tuhan telah menegaskan akan adanya pembalasan setimpal pada perbuatan iman dan kafir. Lebih lanjut Qadi Abdul Jabbar menegaskan bahwa pada masing-masing diri manusia telah diberikan kekuatan untuk beriman atau kafir,  dengan demikian kekafiran dan keimanan merupakan ciptaan atau pilihan masing-masing pribadi:
“(Hal ini) sama dengan kalau kita memberi seseorang pisau untuk digunakan bagi keuntungan mereka sendiri, tapi dia membunuh dirinya sendiri dengan pisau tersebut. Orang yang memberinya pisau telah berbuat baik kepadanya, tapi dia merugikan dirinya sendiri dengan menggunakan pisau untuk sesuatu yang menyebabkan bahaya, bukan untuk sesuatu yang menguntungkan dirinya sendiri. Demikian juga Tuhan memberi orang kafir kekuatan tapi kemudian menggunakannya untuk menghancur­kan dirinya, dan tidak menggunakannya untuk [mendapat­kan] keimanan, jadi inilah orang yang menghancurkan dan melakukan kejahatan pada dirinya sendiri. Itu mengindikasi­kan bahwa Tuhan tidak membebankan kepada manusia apa yang mereka tidak punya kekuatan untuk melakukan­nya, adalah sebuah kemustahilan untuk menyuruh seseorang yang tidak punya kekayaan untuk membayar sedekah karena zakat tidaklah mungkin tanpa ada harta. Begitu juga, Dia tidak akan menyuruh hambanya untuk beriman kalau dia tidak punya kekuatan untuk itu, karena keimanan tidak mungkin tanpa ada kekuatan untuk melakukannya. Dan sesuatu yang mengindikasikan bahwa kekuatan mendahului perbuatan adalah bahwa sebuah instrumen, seperti tangan atau kaki, yang dengan itu perbuatan terjadi harus ada sebelumnya. Jadi, begitu juga kekuatan (harus ada sebelum tindakan).”

Lebih Jauh  Mengenai Penciptaan Kafir

            Iman dan Kafir diciptakan oleh diri manusia, merupakan jawaban atas keyakinan kaum Jabariyah yang menyatakan bahwa apapun yang dialami manusia dikehendaki oleh Tuhan. Mu`tazilah berpendapat sebaliknya. Semua tindak iman merupakan tanggung jawab manusia, demikianpun dengan kekafiran. Karena. Jika Tuhan adalah Pencipta kufr, maka tanggung jawab akan keberadaan dosa terbesar ini (dan untuk masalah ini, keberadaan semua dosa) di dunia akan berada di tangan Tuhan dan bukan di tangan manusia. Atas dasar inipula dapat dikatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai hak untuk menghukum orang kafir karena kekafiran­nya. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa keimanan dan kekafiran tidaklah diciptakan oleh Tuhan.
Pada bagian ini, pembahasannya akan berkisar pada ayat Qur’an (V, 60) yang berbunyi: ‘Apakah akan Aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya di sisi Ilahi?, (yaitu kasus) orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Tuhan, di antara mereka ada yang dijadikan kera dan babi, dan orang-orang yang menyembah berhala’. Kontra-Mu’tazilah menggunakan ayat ini sebagai salah satu teks-pem­buktian yang menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan kufr, dan membuat seseorang menjadi kafir. Pada ayat itu terlihat bahwa Allah mengutuk dan memurkai seseorang sehingga menjadi kera atau babi, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kejadian dan tindakan manusia ditentukan oleh Allah –bukan oleh dirinya sendiri seperti diyakini faham Mu`tazilah. Kemudian Syarif Murtada, sebagai pemikir Mu`tazilah menulis:
“Bagaimana mungkin menaf­sirkan ayat ini dalam pengertian bahwa Allah memberi tahu kita bahwa Dia telah menjadikannya kafir dan menciptakan kufr mereka? Firman Tuhan di sini isinya merupakan celaan atas mereka, suatu keluhan berat kepada mereka karena kufr mereka, serta merupakan suatu ekspresi hinaan atas mereka. Tuhan mencela mereka, dan tidak ada tempat bagi konsepsi bahwa Dia adalah pencipta kufr mereka. Celaan Tuhan sama sekali tidak ada hubungannya dengan penciptaan obyek celaan oleh-Nya.
Di samping itu, orang kafir menjadi benar-benar tidak bersalah dan dapat dimaafkan oleh Tuhan jika adalah Tuhan pencipta kekafiran mereka. Dan kata-kata itu akan menjadi pertentangan dan omong kosong belaka....
Hal terbaik yang dapat dimengerti dari ayat ini adalah informasi bahwa Dia telah menciptakan dan menjadikan manusia menjadi penyembah berhala dan bahwa Dia telah membuat beberapa di antara mereka sebagai babi dan kera.
Tentu saja tidak ada keraguan bahwa Tuhan telah menciptakan orang-orang kafir karena tidak ada Pencipta selain Tuhan. Meskipun demikian, tidak perlu bahwa Dia telah menciptakan kufr pada manusia dan menjadikan manusia itu sebagai seorang kafir.

Makna dari dua kalimat terakhir ini adalah bahwa Tuhan merupakan Pencipta manusia itu, yang secara potensial dapat saja menjadi kafir, yaitu orang yang akan menjadi kafir.  Ini berarti, bagi Mutazilah, Tuhan tidak pernah menciptakan kufr (secara aktual) di dalam diri seseorang. Tuhan mencipta­kan manusia, tetapi apakah manusia akan menjadi kafir atau tidak, itu menjadi urusan manusia dan bukan urusan Tuhan.

Cara seorang yang kafir menjadi kafir bukan perbuatan Tuhan. Ya... kita mempunyai suatu pembuktian yang jelas bahwa Dia terlalu mulia untuk mem­buat dan menciptakan hal semacam itu. Keduanya (yaitu, penciptaan seorang manusia untuk menjadi seorang yang kafir di satu pihak, dan penciptaan cara di mana manusia dapat menjadi kafir di lain pihak) merupakan masalah yang sama sekali berbeda.

Dalam buku yang sama, Syarif al-Murtada membahas permasalahan pencip­taan kufr oleh Ilahi dari sudut yang sedikit berbeda. Kali ini, teks pembuk­tiannya adalah ayat Qur’an (3: 8): “Ya tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri pe­tunjuk kepada kami (ke arah yang benar)”. Ayat ini tampaknya memberikan landasan yang sangat baik bagi ke­lompok kontra-Mu’tazilah untuk menegaskan bahwa baik iman maupun kufr merupakan ciptaan Tuhan. Pada teks itu terbaca kelas bahwa ada permintaan kepada Tuhan agar tidak mencon­dongkan hatinya dari iman. Secara tidak langsung doa ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa ada kemungkinan bagi Tuhan untuk membuat hati manusia condong dari iman dan menjadi kafir.
Menanggapi pendapat ini, Syarif al-Murtada menjawab dengan cara sebagai berikut: “ayat ini tidak menyatakan bahwa Tuhan secara langsung menciptakan kufr dalam hati mereka; ayat ini menga­takan bahwa dimungkinkan bagi Tuhan untuk membuat situasi semacam itu yang akan menyebabkan kufr pada mereka”. Dengan kata lain, bahkan dalam situasi semacam itu, manusia selalu bebas untuk tidak memilih jalan yang salah. Jika dia memilih kufr karena adanya tekanan suatu kondisi, maka hal itu merupakan tanggungjawabnya sendiri. Atas dasar pengertian ini Murtada mengusulkan sejumlah penafsiran yang mungkin mengenai ayat yang dikutip di atas.

Ayat ini dapat diuraikan sebagai: ‘Ya Tuhan kami! Sesudah Engkau beri “petunjuk” kepada kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan.’
Ketika kita akan menjalani hukuman berat yang tidak dapat ditahan lagi, maka hati kita dapat kehilangan kepercayaan karena tekanan situasi. Untuk men­deskripsikan kasus semacam itu, maka (secara gramatikal) sangatlah dapat diterima jika kita menjadikan Tuhan sebagai subyek tindakan (seperti yang dilakukan oleh ayat Qur’an itu) serta menghubungkan kecondongan hati ke arah kesesatan, dengan Tuhan.
Sekarang, jika kita diminta untuk menerangkan mengenai yang kita maksud sebagai perbuatan Tuhan yang menjadikan hati kita mengalami hukuman berat yang tidak tertahankan, maka kita akan menjawab: hal itu terjadi karena Tuhan membuat keinginan kira menjadi sangat kuat untuk segala hal yang dinilai oleh akal kita sebagai sesuatu yang buruk dan jahat, serta Tuhan memperkuat kecenderungan kita untuk mengelakkan kewajiban kita. (Dalam hal ini, perbu­atan kufr itu tidak harus dipahami sebagai perbuatan buruk dan jahat oleh Tuhan, karena Dia yang membuat hal itu) kewajiban moral yang ditimpakan kepada kita dibuat lebih sulit untuk dilaksanakan, tetapi balasan yang akan diterima lebih besar (jika melakukan kewajiban itu).
Cara kedua yang memungkinkan untuk penafsiran adalah dengan menempat­kan ayat itu sebagai doa yang sungguh-sungguh kepada Tuhan yang dilakukan oleh kaum muslim sehingga Tuhan akan memperkuat hati mereka serta tetap memperoleh ‘petunjuk’, serta memperkuat mereka dengan Kasih-Nya, yang tanpa kasih itu mereka tidak akan dapat mempertahankan iman mereka se­lama-lamanya. (Penafsiran ini didasarkan pada pemikiran Qur’anik di mana jiwa manusia secara alami bersifat lemah dan mudah berbuat salah). Dengan demikian, ayat ini dapat diuraikan sebagai. ‘Ya Tuhan kami, jangan biarkan hati kami tanpa Engkau perkuat dengan Kasih-Mu, karena tanpa itu kami akan jauh dari jalan yang benar serta tersesat.’

Permasalahan ini kemudian menjadi serius ketika dimunculkan pertanyaan: Apa­kah Tuhan menginginkan dan menghendaki kufr? Pertanyaan ini terkait dengan pernyataan tak terbantahkan bahwa tak ada pencipta atas sesuatupun di dunia ini kecuali Tuhan, maka kafir pun pastilah merupakan ciptaan Tuhan. Nah, jika Tuhan menciptakan kafir tidaklah mungkin bagi siapa saja untuk menciptakan apa pun juga tanpa keinginan serta kehendak untuk melakukan hal itu. Syarif al-Murtada menyatakan bahwa “tentu saja tidak ada keraguan bahwa Tuhan telah menciptakan orang-orang kafir karena tidak ada Pencipta selain Tuhan”. Namun apakah ini berarti Tuhan juga menginginkan serta menghendaki itu? Jika mengatakan Ya pa­da pernyataan ini, maka akan ada kesimpulan bahwa bahwa Tuhan menyukai kufr dan menyetujuinya.
Ya, apakah kekafiran diharapkan oleh Tuhan? Ibn Hazm mencoba merumuskan jawaban atas pertanyaan ini dengan pertama kali merumuskan ulang pandangan kaum Mutazilah:

Ketika seseorang menjadi kafir, atau ketika seseorang melakukan dosa besar dan menjadi fasiq, atau ketika seseorang mencela Tuhan dan membunuh Nabi, maka ini semua tidak ada hubungannya dengan keinginan dan harapan Tuhan.
Tuhan tidak pernah menginginkan (sya’a) hal seperti itu. Hal ini dibuktikan oleh ayat  Qur’an: ‘Tuhan tidak meridlai kufr bagi hamba-Nya’ (QS. 39, 7) Secara umum, barang siapa (melakukan perbuatan) yang dikehendaki oleh Tuhan untuk dikerjakan, maka dia    merupakan orang yang pantas memperoleh pahala karena perbuatan baik yang dilakukannya.     Oleh karena itu, jika Tuhan berkehendak bahwa seseorang menjadi kafir atau bahwa diri     melakukan dosa besar, dan jika benar manusia ini melakukan perbuatan itu, maka dia mela­kukan perbuatan yang dikehendaki oleh Tuhan untuk dilaksanakan. Dengan kata lain, dia telah melakukan hal yang baik dan dengan demikian pantas memperoleh pahala Ilahi. (Tetapi ini tidak mungkin).

Menanggapi pandangan Mu’tazilah ini, Ibn Hazm berpendapat bahwa menurut pandangan yang diyakini para pengikut Sunnah, kata kehendak dikaitkan dengan dua kata dalam bahasa Arab iradah  dan masyi`ah. Iradah berarti berkehendak dan masyi’ah berarti ‘berharap’. Keduanya bersifat kurang tegas dan diguna­kan dalam dua makna yang berbeda menurut konteks yang aktual. Salah satu dari makna itu adalah ‘kepuasan’ atau ‘kesenangan’ (ridla), serta ‘persetujuan’ (istihsan, yang secara harfiah berarti: ‘menilai sesuatu baik’). Dalam pengertian yang pertama ini (ridla), Tuhan tidak mungkin senang melihat manusia melalukan tindakan yang dilarang-Nya. Makna yang kedua (istihsan) adalah menginginkan dan menghendaki keberada­an sesuatu, apa pun sesuatu itu. Dalam pengertian yang kedua ini, kata-kata itu dapat digunakan dengan merujuk Tuhan dalam kaitannya dengan setiap kehi­dupan di dunia ini, baik atau buruk.
Kita hanya berhak mengatakan dalam pengertian yang kedua (istihsan) di mana Tuhan mengharapkan, mengingin­kan atau menghendaki sesuatu hal, meskipun hal yang diinginkannya adalah hal yang buruk seperti kufr. Menurut Ibn Hazm, Mu’tazilah tidak konsisten dalam menafsirkan dua makna kata ini, kadang-kadang menggunakan kata-kata ini dalam penger­tian yang satu dan kadang-kadang dalam pengertian lain. Kemudian, Ibn Hazm menyimpulkan, bahwa jelas dalam perma­salahan ini mereka menggunakan metode sofistik dalam argumentasi mereka.
“Pandangan yang benar dari pengikut Sunnah adalah sebagai berikut: barang siapa yang melakukan sesuatu yang dikehendaki (arada) serta yang diinginkan (sha’a) Tuhan maka dia tidak dapat dikatakan orang yang mengerjakan sesuatu yang baik serta pantas menerima pahala. Orang yang berbuat baik adalah seseorang yang melakukan apa yang diperintahkan Tuhan kepadanya dan dengan melakukan hal itu Dia menjadi ridla.

Dengan kata lain, kufr merupakan obyek kehendak dan keinginan Tuhan dalam pengertian kata yang kedua (istihsan, persetujuan), dan bukan dalam pengertian yang pertama (ridla, menyenangi atau menghendaki). Oleh karena itu, barang siapa melakukan perbuatan itu sama sekali tidak pantas mem­peroleh pahala Ilahi. Jadi keberadaan kekafiran disetujui, namun tidak diridlai. Namun pertanyaannya adalah, kenapa hal yang tidak disetujui ini tidak dicegah dan dihilangkan oleh Tuhan? Ibn Hazm menyatakan:
Kita perlu mengetahui bahwa barang siapa mampu mencegah sesuatu, namun tidak melakukannya; maka orang itu menghendakinya. Jika tidak meng­harapkannya maka dia akan berusaha mengubahnya serta mencegah perbuatan itu tanpa melakukannya sedikit pun.

Tak ada jawaban yang tepat untuk soal ini. Oleh karena itu, Ibn Hazm kembali pada pernyataannya yang men­dasar serta sangat disukainya, yaitu bahwa kita tidak boleh mengukur hal yang baik dan buruk yang dilakukan oleh Tuhan dengan standar yang hanya valid bagi manusia. Tuhan bebas mutlak. Apa pun yang dilakukan­Nya, bagaimanapun yang diputuskan-Nya, Dia adil dan bijaksana. Hanya jika obyek kehendak Tuhan diwujudkan dalam dunia realitas manusia dan dilihat dari sudut pandang manusia, maka beberapa perbuatan Tu­han itu menjadi baik dan beberapa yang lain menjadi buruk

Nabi Isa AS

Nabi Isa AS

1.  Kelahiran Nabi Isa as menurut Al Qur’an
Nabi ‘Isa a.s. serta ibunya Maryam adalah makhluk Allah s.w.t. yang terpilih, mereka tidak sekali-kali akan mengakui diri mereka sebagai Tuhan disebabkan nikmat yang diberikan kepada mereka, terutamanya Nabi ‘Isa a.s. Dakwaan bahawa Nabi ‘Isa itu adalah jelmaan Allah s.w.t. hanyalah cerita karut dan pembohongan semata-mata. ‘Isa a.s. sendiri menyatakan di dalam Yohanes, fasal 17, ayat 3, bahwa “Inilah hidup yang kekal, yaitu supaya mereka mengenal Engkau, Allah Yang Esa, dan Yesus Kristus yang telah Engkau suruhkan itu.” Al Qur’an dengan gamblang dan teliti mengisahkan mulai proses kehamilan dan kelahiran Isa as., dari Maryam, seorang perempuan shalihah yang telah dipilih Allah, seperti pada firman  Allah dalam QS. Maryam (19) : 13-33
 
16. dan Ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Al Quran, Yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur, 17. Maka ia Mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, Maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. 18. Maryam berkata: "Sesungguhnya aku berlindung dari padamu kepada Tuhan yang Maha pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa". 19. ia (Jibril) berkata: "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci". 20. Maryam berkata: "Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!" 1. Jibril berkata: "Demikianlah". Tuhanmu berfirman: "Hal itu adalah mudah bagiku; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan". 22. Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. 23. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, Dia berkata: "Aduhai, Alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan". 24. Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: "Janganlah kamu bersedih hati, Sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. 25. dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, 26. Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". 27. Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. kaumnya berkata: "Hai Maryam, Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang Amat mungkar. 28. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina", 29. Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. mereka berkata: "Bagaimana Kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?" 30. berkata Isa: "Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi, 31. dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; 32. dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. 33. dan Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaKu, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali".

2.  Kenabian Isa as
Muslim meyakini bahwa Isa adalah sebagai seorang nabi pendahulu Muhammad, dan menyatakan bahwa setelah ia akan muncul seorang nabi terakhir, sebagai penutup dari para nabi utusan Tuhan. Hal ini berdasarkan dari ayat Al Qur’an, di mana Isa menyatakan tentang seorang rasul yang akan muncul setelah dia, yang bernama Ahmad. Islam mengasosiasikan Ahmad sebagai Muhammad.
Ajaran Islam menganggap Isa hanya sebagai utusan Allah saja. Kepercayaan yang menganggap Isa sebagai Allah atau Anak Allah, menurut Islam adalah perbuatan syirik (mengasosiasikan makhluk sama dengan Allah), dan dengan demikian dianggap sebagai suatu penolakan atas konsep Keesaan Tuhan (tauhid).
Nabi Isan mendapat gelar Ulul Azmi, yakni gelar yang diberikan kepada para rasul yang memiliki kedudukan tinggi/ istimewa karena ketabahan dan kesabaran yang luar biasa, dalam menyebarkan agama. Gelar ini adalah gelar tertinggi/istimewa ditingkat para nabi dan rasul. Tentang gelar ini telah dijelaskan pada QS. Al-Ahqaaf ayat 35 dan Asy-Syuraa ayat 13.

35. Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik. (QS. Al Ahqaaf ; 35)
Islam melihat Isa sebagai manusia biasa yang mengajarkan bahwa keselamatan datang dengan melalui kepatuhan manusia kepada kehendak Tuhan dan hanya dengan cara menyembah Allah saja. Dengan demikian, Isa dalam ajaran Islam dianggap sebagai seorang muslim, begitu pula dengan semua nabi Islam. Islam dengan demikian menolak konsep trinitas dalam Ketuhanan Kristen, seperti juga konsep tentang Ketuhanan Yesus.
Dalam berdakwah, Isa didampingi para pengikutnya yang disebut al-Hawâriyyûn, yang jumlahnya 12 orang, sesuai dengan jumlah suku Bani Israil yakni anak turun Nabi Ya’kub, sehingga masing-masing hawari ini ditugaskan untuk menyampaikan risalah Injil bagi masing-masing suku Bani Israil. Namun nama-nama hawari tersebut tidaklah disebutkan di dalam Al Quran. Kisah para sahabat Isa ini terdapat dalam QS. Al Mâ'idah: 111-115 dan QS.  Ãli 'Imrân: 52. Dalam surat tersebut diceritakan bahwa al-Hawâriyyûn meminta Isa untuk menurunkan makanan dari langit. Nama surat Al Maidah yang berarti makanan diambil karena mengandung kisah ini. Kejadian turunnya makanan dari langit ini makin menambah ketebalan iman para pengikut Isa
øŒÎ)ur àMøym÷rr& n<Î) z`¿ÎiƒÍ#uqysø9$# ÷br&
111. Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia: "Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku." Mereka menjawab: Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)."
112. (Ingatlah), ketika pengikut-pengikut Isa berkata: "Hai Isa putera Maryam, sanggupkah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?." Isa menjawab: "Bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang yang beriman."
113. Mereka berkata: "Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu."
114. Isa putera Maryam berdoa: "Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rzekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezki Yang Paling Utama."
115. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu, barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah (turun hidangan itu), maka sesungguhnya Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan kepada seorangpun di antara umat manusia." (QS. Al Mâ'idah: 111-115)
52. Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?" Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: "Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri. (QS. Ãli 'Imrân: 52)

3.  Dalil tentang Nabi Isa as
a. Al Qur’an

Berkata Isa: "Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Alkitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi,dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali". Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya. Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah ia. (QS. Maryam: 30-35)

Dan tatkala Isa datang membawa keterangan dia berkata: "Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa hikmat dan untuk menjelaskan kepadamu sebagian dari apa yang kamu berselisih tentangnya, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah (kepada) ku". Sesungguhnya Allah Dialah Tuhanku dan Tuhan kamu maka sembahlah Dia, ini adalah jalan yang lurus. Maka berselisihlah golongan-golongan (yang terdapat) di antara mereka, lalu kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang zalim yakni siksaan hari yang pedih (kiamat). (QS. Az Zukhruf: 63-65)

Al Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu). (QS. Al Maa'idah: 75)

Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?". Isa menjawab: "Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib". Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya yaitu: "Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu", dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. (QS. Al Maa'idah: 116-117)

b. Hadis
1)  “Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang berperang demi membela kebenaran sampai hari Kiamat.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka kemudian turun Nabi ‘Isa bin Maryam Alaihissalam, kemudian pemimpin golongan yang berperang tersebut berkata kepada Nabi ‘Isa: ‘Kemarilah, shalatlah mengimami kami.’ Kemudian Nabi ‘Isa menjawab: ‘Tidak, sesungguhnya sebagian kalian adalah pemimpin atas sebagian yang lain, sebagai penghormatan bagi umat ini." HR. Muslim (no. 156 (247)), Ahmad (III/384),
2)  “Dan demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, sudah dekat saatnya di mana akan turun pada kalian (‘Isa) Ibnu Maryam Alaihissalam sebagai hakim yang adil. Dia akan menghancurkan salib, membunuh babi, menghapus jizyah (upeti/pajak), dan akan melimpah ruah harta benda, hingga tidak ada seorang pun yang mau menerimanya.” HR. Al-Bukhari kitab Ahaadiitsul Anbiyaa’ bab Nuzuul ‘Isa Ibni Maryam (no. 3448),

4.  Mukjizat Nabi Isa as

Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada Isa putera Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya. (QS. Al Baqarah: 253)

 (Ingatlah), ketika Allah mengatakan: "Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruhul qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah pula) diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan izin-Ku, kemudian kamu meniup kepadanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah) di waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir di antara mereka berkata: "Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata". (QS. Al Maa'idah: 110)
Berdasarkan ayat diatas, Mu’jizat Nabi Isa as, dapat dirinci sebagai berikut ;
a.   Lahir tanpa adanya seorang ayah
b.   Dapat menghidupkan orang yang telah mati dengan izin Allah
Menurut keterangan Ulama ada empat orang yang dihidupkan dari kematian oleh Nabi Isa as. Pertama, al-Azir yaitu temannya, kemudian dua orang anak laki-laki dari seorang tua dan seorang anak perempuan satu-satunya dari seorang ibu. Mereka adalah tiga orang yang mati di zamannya dan Isa membangkitkan pula Sam bin Nuh atas permintaan orang Yahudi.
c.   Dapat berbicara sewaktu masih bayi, untuk menerangkan bahwa ia seorang nabi yang diutus untuk bani Israel
d.   Bisa mengetahui Taurat asli Musa, yang disembunyikan dan telah mengalamai banyak perubahan yang dilakukan oleh orang-orang cerdik dari kaum Yahudi
e.   Menyembuhkan orang buta
f.    Membentuk tanah seperti burung kemudian meniupkan roh, lalu tanah itu menjadi burung
g.   Menyembuhkan orang yang berpenyakit sopak/kusta
h.   Menghidupkan kembali orang yang telah mati
i.    Menurunkan makanan dari langit karena permintaan Hawariyun

5.  Sifat-sifat Nabi Isa as
Sifat-sifat Nabi ‘Isa as yang tercantum di berbagai riwayat adalah beliau seorang laki-laki, berperawakan tidak tinggi juga tidak pendek, kulitnya kemerah-merahan, rambut-nya keriting, berdada bidang, rambutnya meneteskan air seolah-olah beliau baru keluar dari kamar mandi, beliau membiarkan rambutnya terurai memenuhi kedua pundaknya.

6.  Pandangan Al Qur’an tentang kewafatan Nabi Isa as
Al Qur’an menerangkan dalam QS. An Nisaa':157 bahwa Isa tidaklah dibunuh maupun disalib oleh orang-orang kafir. Adapun yang mereka salib adalah orang yang bentuk dan rupanya diserupakan oleh Allah seperti Isa.
dan karena ucapan mereka: "Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. (QS. An Nisaa': 157)

Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. An Nisaa':158)
Ibnu Katsir menafsirkan ayat diatas, kemudian membawakan beberapa hadits tentang turunnya Nabi ‘Isa. Beliau berkata: “Inilah hadits-hadits mutawatir yang berasal dari Rasulullah yang diriwayatkan dari para Sahabat, seperti Abu Hurairah, Ibnu Mas’ud, ‘Utsman bin Abil ‘Ash, Abu Umamah, an-Nawwas bin Sam’an, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, Mujammi’ bin Jariyah, Abu Syuraikah dan Hudzaifah bin Usaid ra. Didalam hadits-hadits ini mengandung petunjuk tentang sifat-sifat turunnya, juga tempatnya, yaitu ia akan turun di Syam (Syiria) tepatnya di Damaskus pada menara timur dan terjadi ketika akan didirikan shalat Shubuh.
Al Qur’an memberi informasi bahwa Nabi Isa as, wafat tidak dibunuh oleh siapapun, tetapi Dia wafat menurut cara yang telah ditetapkan Allah yakni diangkat menuju Allah, seperti pada QS. Ali Imaran (3) ; 55,

55. (ingatlah), ketika Allah berfirman: "Hai Isa, Sesungguhnya aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari kiamat. kemudian hanya kepada Akulah kembalimu, lalu aku memutuskan diantaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya".
Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai firman Allah: إِلَيَّ وَرَافِعُكَ مُتَوَفِّيْكَ إِنِّيْ Sesungguhnya Aku akan menyampaikanmu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku...” Menurut Qatadah dan ulama lainnya: “Ini merupakan bentuk kalimat dalam bentuk muqaddam dan muakhkhar (yaitu bentuk kalimat yang mendahulukan apa yang seharusnya ada di akhir, dan mengakhirkan apa yang seharusnya didahulukan). Kedudukan sebenarnya adalah مُتَوَفِّيْكَ وَ إِلَيَّ رَافِعُكَ إِنِّيْ yakni Aku mengangkatmu kepada-Ku dan mewafatkanmu.

7.  Keterangan Nabi Muhammad tentang Nabi Isa as di akhir zaman
a. Turun ke Bumi
Dari keterangan hadist Muhammad diceritakan bahwa menjelang hari kiamat/akhir zaman Isa akan di turunkan oleh Allah dari langit ke bumi. Peristiwa itu tergambar dari hadist berikut:
1)  “Tidak ada seorang nabi pun antara aku dan Isa dan sesungguhnya ia benar-benar akan turun (dari langit), apabila kamu telah melihatnya, maka ketahuilah; bahwa ia adalah seorang laki-laki berperawakan tubuh sedang, berkulit putih kemerah-merahan. Ia akan turun dengan memakai dua lapis pakaian yang dicelup dengan warna merah, kepalanya seakan-akan meneteskan air waulupun ia tidak basah.”
2)  “Sekelompok dari ummatku akan tetap berperang dalam dalam kebenaran secara terang-terangan sampai hari kiamat,sehingga turunlah Isa bin Maryam ,maka berkatalah pemimpin mereka (Al Mahdi): “Kemarilah dan imamilah salat kami”. Ia menjawab;”Tidak, sesungguhnya sebagian kamu adalah sebagai pemimpin terhadap sebagian yang lain, sebagai suatu kemuliaan yang diberikan Allah kepada ummat ini (ummat Islam).”
3)  “Tiba-tiba Isa sudah berada di antara mereka dan dikumandangkanlah salat,maka dikatakan kepadanya, majulah kamu (menjadi imam salat) wahai ruh Allah.” Ia menjawab:”Hendaklah yang maju itu pemimpin kamu dan hendaklah ia yang mengimami salat kamu”
Menurut Islam, hal pertama yang dilakukan Isa setelah turun dari langit adalah menuaikan salat sebagaimana yang dijelaskan oleh hadist-hadist di atas. Isa akan menjadi makmum dalam salat yang di imami oleh Imam Mahdi.
Turunnya Nabi ‘Isa as, memberikan hikmah yang besar, di antaranya:
1)  Membantah Yahudi yang beranggapan bahwa mereka telah membunuh ‘Isa Alaihissalam. Padahal Nabi ‘Isa-lah yang akan membunuh pimpinan mereka yaitu Dajjal.
2)  Sesungguhnya Nabi ‘Isa as mendapatkan di dalam Injil tentang keutamaan ummat Muhammad (QS. Al-Fath: 29) Dan beliau berdo’a agar dimasukkan di antara mereka (ummat Nabi Muhammad), lalu Allah mengabulkan do’a beliau ketika beliau turun pada akhir zaman, dan beliau menjadi mujaddid (pembaharu) agama Islam.
3)  Bahwa turunnya Nabi ‘Isa as, dari langit untuk dimakamkan di bumi, karena tidak ada makhluk dari tanah yang mati di selainnya.
4)  Turunnya Nabi ‘Isa as, membongkar kebohongan Nashrani, menghancurkan salib, membunuh babi, menghapus upeti.
5)  Beliau memiliki keistimewaan yang khusus, karena jarak antara Dia dengan Nabi Muhammad   sangat dekat dan tidak ada Nabi lain yang memisahkan antara Nabi ‘Isa as dan Rasulullah.
6)  Nabi ‘Isa as berhukum dengan syari’at Muhammad dan menjadi pengikut Muhammad. Beliau turun tidak membawa syari’at yang baru, karena agama Islam penutup segala agama dan Nabi ‘Isa as, menjadi hakim ummat ini, karena tidak ada Nabi setelah Nabi Muhammad.
7)  Zamannya Nabi ‘Isa as, adalah zaman yang penuh ketenangan, keamanan dan keselamatan. Allah mengirimkan hujan yang deras, menjadikan bumi mengeluarkan tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan. Harta berlimpah serta dihilangkan sifat-sifat iri, benci, dan dengki.
8)  Lamanya Nabi ‘Isa as, tinggal di bumi adalah selama 40 tahun.
b. Memimpin Manusia menghadapi Fitnah Ya’juj dan Ma’juj
Menurut suatu riwayat, Isa setelah turun dari langit akan menetap dibumi sampai wafatnya selama 40 tahun. Ia akan memimpin dengan penuh keadilan, sebagaimana yang diceritakan dalam hadist berikut :
“Demi yang diriku berada ditangan-Nya, sesungguhnya Ibnu Maryam hampir akan turun di tengah-tengah kamu sebagai pemimpin yang adil, maka ia akan menghancurkan salib, membunuh babi, menolak upeti, melimpahkan harta sehingga tidak seorangpun yang mau menerima pemberian dan sehingga satu kali sujud lebih baik dari dunia dan segala isinya.”, (Hadits riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Salah satu tugas besar beliau setelah membunuh dajjal adalah menyelamatkan ummat manusia dari fitnah Ya’juj dan Ma’juj.
1)  Dikisahkan, fitnah dan kejahatan mereka (Ya’juj dan Ma’juj) sangat besar dan menyeluruh, tiada seorang manusiapun yang dapat mengatasinya, jumlah mereka pun sangat banyak sehingga kaum Muslimin akan menyalakan api selama 7 tahun untuk berlindung dari penyerangan mereka, para pemanah dan perisai mereka. (Hadist Riwayat  Ibn Majah dari Nawwas)
2)  Maka saat mereka telah keluar (dari diding tembaga yang mengurung mereka sejak zaman raja Zulkarnain) maka Allah SWT berkata kepada Isa ibn Maryam: ”Sesungguhnya Aku telah mengeluarkan hamba-hamba (Ya’juj dan Ma’juj) yang tidak mampu diperangi oleh siapapun, maka hendaklah kamu mengasingkan hamba-hambaKu ke Thur (Thursina)
3)  Dan di Thur terkepunglah Nabi  ‘Isa beserta para sahabatnya, sehingga harga sebuah kepala sapi lebih mahal dari 100 dinar kamu hari ini.Kemudian Nabi  ‘Isa dan para sahabatnya, menginginkan itu, maka mereka tidak menemukan sejengkalpun dari tanah di bumi kecuali ia dipenuhi oleh bau anyir dan busuk mereka. Kemudian Isa dan sahabatnya meminta kelapangan kepada Allah SWT maka Allah mengutus seekor burung yang akan membawa mereka kemudian menurunkan mereka sesuai dengan kehendak Allah , kemudian Allah menurunkan air hujan yang tidak meninggalkan satu rumahpun di kota atau di kampung, maka Ia membasahi bumi sehingga menjadi seperti sumur yang penuh.” Hadits riwayat Ahmad, Muslim & Tirmidzi dari An Nawwas bin Sam’am.
Dahsyatnya fitnah Ya’juj dan Ma’juj digambarkan dalam sebuah hadist Rasulullah saw. sebagai berikut:
"Dinding Ya'juj dan Majjuj akan terbuka, maka mereka akan menyerang semua manusia, sebagaimana firman Allah :

Dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat-tempat yang tinggi. (QS . Al Anbiyaa' : 96)
c.  Membunuh Dajjal
Turunnya Isa ke bumi mempunyai misi menyelamatkan manusia dari fitnah Dajjal dan membersihkan segala penyimpangan agama ,ia akan bekerjasama dengan Imam Mahdi memberantas semua musuh-musuh Allah.
Dikisahkan setelah Isa selesai menunaikan salat, ia berkata: "Keluarlah kamu (pasukan kaum muslimin) semua bersama kami untuk menghadapi musuh Allah, yaitu dajjal." Lalu mereka pun keluar, kemudian Ia (Isa) dilihat oleh dajjal silaknat yang baru saja mendakwa kepada manusia, bahwa ia adalah raja yang mendapat petunjuk dan pemimpin yang jenius serta bijaksana, bahkan mengaku sebagai Tuhan Yang Maha Tinggi. Begitu Isa dilihat oleh dajjal, dajjal pun meleleh seperti garam yang meleleh di dalam air. Kemudian dajjal melarikan diri, akan tetapi ia dihadang oleh Isa di pintu kota Lud di Palestina. Sekiranya Isa membiarkan saja hal ini maka dajjal akan hancur seperti garam dalam air, akan tetapi Isa berkata kepadanya: "Sesungguhnya aku berhak untuk menghajar kamu dengan satu pukulan." Lalu Isa menombak dan membunuhnya, maka Isa memperlihatkan kepada semua orang darah dajjal di tombaknya. Maka tahu dan sadarlah para pengikut dajjal dari kalangan Yahudi , bahwa dajjal bukanlah Allah. Jika benar apa yang didakwakan dajjal (dajjal mengaku sebagai tuhan) tentulah dajjal tidak akan dapat dibunuh oleh Isa.

8.  Hikmah
a.   Isa as, adalah manusia pilihan Allah untuk dijadikan Nabi dan Rasul bagi Bani Israel sebagai pelanjut risalah nabi Musa as.
b.   Isa as, yang lahir tanpa sentuhan sosok laki-laki merupakan karunia dan ketetapan Allah, Hal itu tidaklah mustahil karena Allah Maha Luas Ilmunya, sehingga apa yang terjadi pada diri manusia termasuk Isa as pastilah telah dirancang sedemikian rupa sebagai pelajaran bagi umat manusia.
c.   Sebagai manusia pilihan tentu Isa as, mempunyai kelebihan dibanding manusia lain  yakni mu’jizat sebagai bukti kerasulan, semua itu atas izin Allah
d.   Sebagai manusia tentu tidak wajar, bahkan terlarang  untuk mengatakan dan mempercayai bahwa Isa as adalah Tuhan. Hal itu merupakan bentuk kemusyrikan yang tidak dapat ditolelir karena melawan ketetapan Allah.