BERCERMIN PADA KAUM MU'TAZILAH
DALAM MEMAHAMI AJARAN DASAR ISLAM SECARA RASIONAL
Secara umum, Islam sebagai suatu sistem
ajaran dapat dikategorikan menjadi dua bagian; Aqidah dan Syari'ah. Pada
bagian pertama (aqidah) sistem ajaran Islam terfokus pada persoalan-persoalan
dasar ajaran Islam, misalnya mengenai tuhan, rasul, hari akhir dsb. Bagian ini
adalah prinsip-prinsip Islam. Pada bagian kedua, ajaran Islam banyak berkaitan hubungan
dengan hal-hal teknis operasinal ketika seseorang menjalani hidup, misalnya
ibadah ritual dan sejumlah aturan yang berhubungan dengan kehidupan pribadi
atau sosial, atau privat dan umum . Kalau dikaitkan dengan pembagian yang kemukakan ulama lain, pada bagian kedua ini,
ajaran Islam dibagi lagi menjadi empat macam permasalahan; Ibadah,
Muna'kahah, Muamalah Dan Jina'yah. Beberapa ulama memberikan istilah lain
pada bagian pertama, yaitu ajaran-ajaran dasar Islam, misalnya Teologi,
Ushuluddin, atau Kalam.
Dalam perjalanan sejarah umat Islam,
pembahasan mengenai ajaran-ajaran yang menyangkut aqidah telah menjadi suatu
permasalahan yang sangat serius. Hal ini terjadi bukan saja karena masalah
tersebut dianggap rumit dan abstrak sehingga para ulama dituntut keras untuk
menjabarkannya secara jelas, tetapi permaslahan ini juga sangat dianggap
penting karena akan terkait dengan sikap muslim dengan orang lain yang dianggap
non-muslim. Ini menuntut sebuah pendefenisian yang tidak ambingu atau kabur
antara muslim dan non muslim Dalam konteks sosial permasalahan ini kerapkali menimbulkan
berbagai peristiwa kekerasan... Adanya kekerasan yang pada zaman tertentu telah
menimbulkan perang bersaudara, factor utamanya adalah suatu fakta bahwa sering
suatu aliran dengan pahamnya erat terkait dengan kepentingan politik. Akibatnya,
orang lain yang tidak sepaham identik menjadi lawan politik. Konsekuensinya
adalah harus disingkirkan oleh penguasa tertentu . Atau penguasa sendiri harus
dijatuhkan.
Kalau kembali pada sejarah, paling tidak
tercatat ada empat aliran pemikiran yang saling bergulat dalam menjabarkan
ajaran-ajaran dasar Islam yang kesemuanya merasa diri bahwa mereka paling
benar, Kh'awarij, Murji'ah, Mu'tazilah, Maturudiyah dan Al-Asa'riyah.
Aliran yang paling mencolok dalam keterkaitannya dengan kepentingan-kepentingan
politik adalah, Al-Asa'riyah dan Mu'tazilah. Mu'tazilah didukung oleh kekuatan
politik dinasti Abbasiyah sedangkan al-As'ariyah erat terkait denagn gerakan
penentang kebijakan-kebijakan diansti Abb'asiah yang sedang memerintah dunia muslim
saat itu.
Sejarah mencatat bahwa umat Islam mengalami
kemajuan peradaban [jaman keemasan Islam], khususnya di bidang ilmu pengetahuan
seperti kedokteran, astronomi dan arsitektur ketika kekhalifahan berada di bawah
kekuasaan dinasti Abasiyyah,
tepatnya ketika Harun al-Rasyid memimpin pemerintahan. Kemajuan ini tentunya
tidak mungkin terwujud apabila kebebasan mansuia untuk berpikir dan mengadakan
penelitian-penelitian ilmiah dikekang. Dalam konteks ini, Mu'tazilah sebagai
suatu aliran yang mengedepankan pemikiran rasional, khususnya dalam memahami
ajaran-ajaran dasar Islam adalah factor lain yang menyebabkan terjadinya
kemajuan peradaban dalam dunia Islam.
Tidak salah kalau atas dasar itu, maka mengkaji
kembali secara mendalam, kritis dan komprehensip mengenai Mu'tazilah sebagai sebuah aliran
pemikiran Islam dengan cara pandang baru menjadi suatu kemestian untuk
mengingkatkan peradaban umat Islam hari ini. Cara pandang baru tersebut adalah
mengkaji kembali Mu'tazilah dari sisi corak pemikiran, bukan pada aspek sejarahnya,
karena hal itu telah telah relatif selesai dilakukan umat Islam terdahulu. Ketika
suatu pengkajian terus-menerus dipaksakan pada aspek sejarah, maka yang akan
timbul adalah romantisme sejarah. Apalagi kondisi umat Islam yang sekarang
sedang mengalami keterbelakangan, maka besar kemungkinan hal ini akan terjadi.
Sejarah Mu`tazilah
Mu`tazilahberkembang
pesat pada akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, yaitu ketika mazhab ini mereka
mendapat dukungan kuat dari Pangeran Yazid bin al-Walid. Mulanya pada saat ayah
Pangeran Yazid bin al-Walid, yaitu Khalifah al Walid (125—-126 H) memerintah
secara semena-mena dan menunjukkan perilaku yang melampaui batas, ia kerap
berpestapora dan mabuk-mabuknya. Pangeran Yazid bin al-Walid kemudian
mengibarkan bendera pemberontakan, Yazid merasa perlu melakukan pemberontakan
karena dalam paham Mu`tazilahyang diyakininya, seseorang harus melaksanakan
kebaikan dan menjauhi kejahatan (amar
ma’ruf nahy munkar). Lalu dengan pasukan tentara yang besar yang kebanyakan
terdiri dari para pengikut Mu’tazillah, dia menyerang ayahnya. Sang Khalifah,
al-Walid, kemudian dimasukkan ke dalam
penjara dan dihukum mati, Pangeran Yazid bin al-Walid mengambil alih kekuasaan.
Dengan berkuasanya
Yazid, aliran Mu’tazillah memperoleh kekuatan, sehingga tumbuh dengan subur.
Perlu ditambahkan bahwa ‘Amr bin ‘Ubaid –salah seorang ulama Mu`tazilahsaat
itu-- turut serta memimpin pemberontakan itu.
Mu’tazillah terus
berkembang dengan pesatnya di bawah perlindungan Barmakid pada zaman rejim
Abbasiyah, walaupun Harun al-Rasyid sendiri menentangnya. Terhadap aliran itu
terdapat dua orang pendukung yang tangguh dari ulama terpelajar, yaitu, Abul
Hudzail dan Ibrahim bin Sayyar Nazzam. Abul Hudzail adalah pengarang buku-buku
(beberapa di antaranya disebutkan di dalam buku karya Ibnu an-Nadim, Fihrist, seperti buku Penyangkalan Kaum Zindiq. Penyangkalan Kaum
Dualis, Penyangkalan Kaum Aliterialis, dan sebagainya) yang berusaha
mempopulerkan aliran itu di antara para ulama dan pemikir Islam. Dia memiliki
ilmu pengetahuan agama dan ilmu filsafat yang luas. Pernyataannya tegas, metoda
argumentasinya jarang mengalami kegagalan dalam meyakinkan orang lain sekalipun
musuhnya yang paling keras. Yang kedua (yaitu Nazzam) adalah salah seorang
murid Abul Hudzail, dia meneruskan tugas guru besarnya. Dia benar-benar seorang
ilmuwan yang bukan saja ahli dalam ilmu filsafat tetapi juga dalam studi
kitab-kitab suci agama lain.
Pengganti Khalifah Harun
Al-Rasyid, yaitu Ma’mun al-Rasyid merupakan pendukung utama Mu’tazillah yang cukup gigih. Dalam
kekuasaannya, Mu`tazilahmenjadi mazhab negara dan membuat aliran ini menyebar
ke seluruh penjuru kerajaan Islam. Khalifah Ma’mun al-Rasyid sendiri mengikuti
prinsip-prinsip aliran itu dan ajaran-ajarannya serta berusaha memantapkannya.
Disamping itu Khalifah Ma’mun al-Rasyid
membentuk kelompok debat yang besar, yang anggota-anggotanya terdiri
dari ilmuwan dari semua kepercayaan dan aliran, dan dia sendiri turut serta
pada kelompok itu. Menurut catatan mengenai masa itu, sarjana-sarjana
non-Muslim yang menyerang ajaran-ajaran Islam dengan senjata filsafat
diundang, mereka diajak berdebat saling menyerang dan mempertahankan keyakinan
dan pengetahuannya. Konon, saat itu termasuk Yazdan Bakht, pemimpin Sekte
Maniceanisme, diundang untuk berdebat dengan Abul Hudzail, dan saat itu Yazdan
Bakht dikalahkan secara memalukan.
Setelah Ma’mun, dua
khalifah Baghdad berikutnya, yaitu, al Mu’tashim dan al-Wathiq memperlakukan
golongan rasionalis itu dengan baik. Qadi Ahmad bin Dawud, seorang ulama
Mu’tazilah yang menjabat ketua peradilan Kerajaan Islam selama masa pemerintahan
kedua khalifah tersebut, menyebarkan prinsip-prinsip Mu’tazilah ke seluruh
wilayah hukumnya. Dengan demikian aliran ini torus berkembang, dan di dalam
abad keempat Hijriah, tafsir al-Qur’an disusun oleh orang-orang Mu’tazillah
menurut dasar akal.
Setelah Khalifah
al-Wathiq meninggal, hampir semua khalifah menentang aliran Mu’tazillah, dan
beberapa di antaranya melakukan penyiksaan terhadap para pengikut Mu’tazillah
hanya karena mereka pengikut paham rasio (Rasionalis). Karena tindakan
penekanan dari pemerintah itulah, maka dilakukanlah cara moderat oleh Abul
Hasan al-Asy’ari yang menggabungkan pola pemikiran salaf (non-rasional) dengan
pola pemikiran Mutazilah. Pemikiran Asyariyah berkembang pesat dan menggantikan
pemikiran Mutazilah. Dalam jangka waktu satu setengah abad aliran Mu’tazillah
menjadi tidak populer.
Pemikiran
Mutazilah
Pemikiran Mu`tazilah selain berhadapan dengan
permasalahan kalam yang telah dimunculkan Khawarij, Murji`ah, Jabariyah dan
Qadariyah; juga berhadapan dengan masalah-masalah baru dari pemikiran luaran.
Dalam hubungannya dengan pemikiran kalam sebelumnya, Mu`tazilahmemberikan
pemikiran baru, yaitu:
1) Mu`tazilah percaya
bahwa iman terkait dengan pengetahuan, dan pengetahuan itu didapatkan melalui
rasio spekulatif. Pada tahap ini sama dengan pemikiran Murji`ah.
2) Mu`tazilah percaya
bahwa iman dapat menaik dan menurun (ini berbeda dari Murji`ah)
3) Mutazilah,
sebagaimana juga Murji`ah, tidak mau menyebut pendosa besar sebagai kafir atau
juga sebagai seorang mukmin. Pendosa besar juga tidak secara otomatis
dimasukkan ke dalam neraka.
Sedang dalam hubungannya dengan pemikiran luar, Mu`tazilah melakukan
proses apropriasi, atau ada juga yang ditolak sama sekali. Pemikiran Hermetis
dan Manicean yang menganggap “tidak adanya sifat-sifat Tuhan”, misalnya,
mempengaruhi pemikiran Mutazilah. Bagi pemikir Mutazilah, Tuhan tidak memiliki
sifat-sifat. Pemikiran mengenai akal sebagai pancaran dari diri Tuhan, dari
Neoplatonisme, rupanya juga mempengaruhi pemikiran Mu`tzailah yang menegaskan
bahwa akal adalah piranti dalam diri manusia yang memberi petunjuk bagi
kebebasannya. Dalam kaitannya dengan pemikiran luaran ini, Mu`tazilah memiliki
pemikiran mengenai 1) Keadilan Tuhan dan Kebebasan Manusia; 2) Penciptaan
al-Quran dan Iman
Iman dan Perbuatan
Bagaimana konsepsi
Mu’tazilah mengenai hubungan iman dengan
perbuatan? Jika merunut pada pemikiran Wasil bin Atha, jawabannya sangat
sederhana, yaitu bahwa pendosa besar itu tidak bisa disebut tetap beriman
sekaligus juga tidak dapat dikatakan telah kafir. Pendosa besar itu disebut
fasik, yang akan ditempatkan di antara surga dan neraka (manzilat bayn al-manzilatayn).
Perbuatan amatlah penting
sebagai bentuk kepatuhan dari iman yang telah diyakini seseorang. Kepatuhan
merupakan suatu ‘tiang’ dan esensi nyata iman,
sehingga siapa pun yang mengabaikannya maka dapat dikatakan bahwa dia
bukanlah seorang yang beriman. Kepatuhan dalam tindakan dengan demikian menjadi
salah satu bagian dari tindak iman. Tetapi pertanyaan lain muncul, apakah
perbuatan itu bagi Mu`tazilah merupakan syarat perlu bagi keimanan?
Dalam diri kelompok
Mu`tazilah ada kelompok pemikir yang menyatakan bahwa “ketidakpatuhan akan
menyebabkan seorang muslim masuk ke dalam Neraka bersama dengan orang kafir dan
mereka tinggal di dalamnya selama-lamanya, dan bahwa walaupun hanya satu
tindakan kepatuhan yang dilalaikan, cukuplah untuk ditolaknya iman seseorang”. Kelompok ini disebut
sebagai Wa’idiyyah, atau pengancam.
Pemikir lain dari Mu`tazilah,
al-Sharif al-Murtada mengungkapkan pernyataan yang berbeda, tidak seekstrem
kelompok Waidiyyah. al-Sharif
al-Murtada menyatakan:
“Kita tidak dapat menjadi seorang yang percaya tanpa ‘melakukan
perbuatan’, tetapi ‘melakukan perbuatan ’ saja tidak dapat membuat orang masuk
Surga.”
Untuk memperjelas pendiriannya ini, Murtada
menuliskan komentar terhadap sebuah hadits berikut:
Hadist ini diriwayatkan
oleh Abu Hurayrah: Nabi) pernah
bersabda, ‘Apa pun yang dilakukan oleh
seseorang tidak akan membuatnya masuk Surga, maupun menyelamatkannya dari
Neraka.’ Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi, ‘Bahkan anda sendiri, ya Nabi
Tuhan?’ Beliau men3awab, ‘Tidak terecuali aku’ (dan kemudian
menambahkan) ‘Kecuali jika Tuhan memberiku kasih dan rida-Nya.’ Beliau
mengulangi kalimat terakhir ini tiga kali.”
(Penjelasan dari
Murtada:) Hal terpenting dan Hadits ini menjelaskan bahwa semua manusia yang
secara legal bertanggung jawan (tidak bersifat independen, tetapi) akan
memerlukan Tuhan, sehingga mereka membutuhkan rida Tuhan, pertolongan dan bantuan-Nya. Hadits ini juga mencoba menunjukkan
bahwa jika Tuhan tidak bersedia untuk memberikan pertolongan dan rida-Nya kepada manusia, meninggalkan manusia
seorang diri, maka manusia itu tidak akan pernah dapat masuk Surga dan
melepaskan dirinya dari Neraka dengan ‘amalnya.
Oleh karena itu, (bagian pertama dari Hadits ini) harus dipahami dalam
pengertian bahwa manusia tidak akan pernah masuk Surga dengan perbuatannya
yang dilakukannya tanpa pertolongan,
rida, dan petunjuk Tuhan.
Sementara pemikir Mu’tazilah
lain, Zamakhshar memberikan komentar atas Surah X ayat 98 mengatakan: “Ayat ini secara jelas
menunjukkan bahwa jenis iman yang
mendapatkan bimbingan Ilahi, bantuan serta cahaya-Nya pada Hari Kiamat adalah iman yang dikhususkan oleh suatu
kondisi, yaitu iman yang disertai dengan perbuatan baik, dengan
menunjukkan bahwa seorang manusia yang imannya tidak disertai dengan perbuatan baik tidak akan diberi pertolongan maupun
cahaya Ilahi”. Kemudian Zamakhsari menegaskan bahwa, “Seseorang yang tidak
mempunyai keyakinan hati maka dia adalah munafik, yang dalam hal ini, dia
mungkin memberikan kesaksian secara verbal [bahwa dia beriman] dan melakukan perbuatan baik. Orang yang tidak melakukan pengakuan
verbal disebut kafir, sementara orang
yang tidak ‘melakukan perbuatan ’
dikatakan orang yang fasiq”.
Perbuatan rupanya menjadi
bagian dari syarat iman, namun bukan sebagai syarat perlu; atau bukan sebagai
esensi iman. Perbuatan hanyalah pelengkap, atau penyempurna dari pengetahuan, tasdiq, yang telah dimiliki seseorang.
Inti iman adalah tashdiq, sementara
tindakan merupakan pelengkap yang menegaskan kondisi keimanan dalam hati.
Konsekuensi dari konsepsi ini, perbuatan sebagai pelengkap saja, adalah bahwa
pendosa besar tidak secara otomatis disebut sebagai kafir. Dosa besar terkait dengan tindakan fisik yang
menyimpang dari aturan, sedang iman merupakan peristiwa ruhaniah (pengetahuan).
Seseorang yang berdosa besar, tidak secara otomatis menunjukkan bahwa dirinya
tidak lagi beriman. Paling-paling itu semua menunjukkan bahwa daya pegetahuan
imannya tidak lagi memiliki daya untuk menggerakkan diri pada tindakan yang
baik (menuruti seruan amar ma`ruf nahy
munkar).
Namun ada persoalan lain
dari pendapat Abdul Jabbar yang meyakini bahwa iman itu bisa naik dan turun:
“Sudah ditentukan bahwa semua yang kita sebut
sebagai iman bisa meningkat dan menurun, karena kewajiban agama dilakukan oleh
sebagian hamba lebih besar ketimbang (yang dilakukan) oleh yang lain, dan
sebagian lagi melakukan lebih banyak ketimbang yang lain.”
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa yang menjadi pengukur naik turunnya
iman adalah ketaatan melakukan kewajiban agama. Tindakan menjadi pengukur
tingkat keimanan. Jika demikian bisakah dikatakan bahwa tindakan merupakan
esensi (atau syarat perlu) dari iman?
Menurun dan menaiknya
iman karena tindakan tidak berarti bahwa tindakan merupakan syarat perlu bagi
iman. Jika a menjadi syarat perlu
bagi x, maka tidak adanya a akan berarti tidak adanya x; sementara jika b menjadi syarat cukup bagi x,
maka ketiadaan b hanya berarti bahwa x tidak tampil sempurna (menurun). Dalam
hal ini, dapat ditegaskan bahwa konsepsi “menurun dan menaiknya” iman lewat
tindakan merupakan pernyataan implisit, bahwa tindakan hanyalah syarat cukup
dan bukan yang esensi bagi iman. Dengan kata lain, istilah “menaik menurun”
merupakan petunjuk bahwa iman itu tidak pernah menghilang, sedosa apapun
seseorang iman tak bisa menghilang; paling-paling hanya menurun. Iman dengan
demikian terkait dengan tashdiq dalam
arti pengetahuan.
Batas-Batas Iman dan Pengetahuan
Jika iman adalah pengetahuan, atau
jika iman disebabkan oleh adanya pengetahuan; pertanyaannya adalah (1) dari
mana pengetahuan itu didapatkan? (2) apa
sajakah obyek pengetahuannya? (3) bagaimana posisi wahyu?
Tentang persoalan ini, Mu`tazilahmengemukakan bahwa akal
spekulatiflah yang mengantarkan kita pada iman. Jadi jika ada
pertanyaan, dengan melalui apakah manusia mengetahui Tuhan? Mu`tazilahmenjawab,
dengan akal. Akal adalah kekuatan yang dimiliki oleh semua manusia untuk
berpikir logis.
Qadi Abdul Jabbar
meyakini bahwa pengetahuan melalui akal dapat mengantarkan kita pada kesadaran
akan adanya Tuhan. Alasan yang mendasarinya adalah hierarki daya pengetahuan
manusia. Manusia secara memiliki tiga daya untuk mengetahui, indera, rasio dan
intuisi. Bagi Abdul Jabbar, indra tidak mungkin membayangkan Tuhan demikianpun
dengan intuisi. Tuhan hanya dapat diketahui melalui refleksi dan spekulasi.
Akal menuntun manusia untuk menemukan kesimpulan bahwa ada Tuhan yang menjadi
sumber bagi kehidupan. Kemudian melalui bukti-bukti dalam kenyataan kehidupan
manusia dapat meneruskan temuan pengetahuannya mengenai segala hal mengenai
Tuhan bahkan mengenai apa yang wajib dilakukan oleh manusia. Untuk memperjelas,
berikut dikutipkan pemikiran Qadi Abdul Jabbar:
Kemudian kalau ditanyakan: Apakah
bukti yang bisa membuat nalar spekulatif membawa kepada pengetahuan tentang
Tuhan?
Katakanlah kepadanya: Diriku sendiri
(nafsi) dan apa yang aku lihat pada tubuh (fisik).
Kemudian kalau ditanyakan: Bagaimana
diri anda sendiri bisa menjadi bukti adanya Tuhan?
Katakan kepadanya: Karena aku
menemukan diriku dalam keadaan sempuma, dan mustahil bagiku untuk menciptakan
sesuatu seperti diriku atau sebagian dari diriku. Jadi, a fortiori, ketika aku dalam keadaan asliku tidak bisa meneteskan
sperma untuk menciptakan diriku, maka aku tahu bahwa aku memiliki pencipta dan
perancang yang hebat, dan dia adalah selain aku, dan Dialah Tuhan.
Kemudian kalau ditanyakan: Bagaimana
hal ini memberi bukti [adanya] Tuhan?
Katakan kepadanya: Karena aku tahu,
tubuh pasti bergerak, diam, berhubungan, dan terpisah, semua itu baharu. Jadi,
tubuh pasti baharu (muhdats) karena
sesuatu yang fana (hawadits) tidaklah
kekal.
Nah,
terlihat jelas bagaimana Mu`tazilahmenegaskan pentingnya akal spekulatif
sebagai pengawal terciptanya pengetahuan mengenai Tuhan dan hal ihwal
mengenai-Nya.
Menurut Harun Nasution,
dengan mengutip Syahrastani, bahwa obyek pengetahuan imani adalah (1)
mengetahui Tuhan; (2) kewajiban mengetahui Tuhan; (3) mengetahui baik dan
buruk; (4) kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat. Kemudian
Harun Nasution menuliskan:
“Bagi Kaum Mu`tazilahsegala pengetahuan dapat
diperoleh dengan pengantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui
dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterima kasih kepada
Tuha sebelum turunnya wahyu adalah wajib. Baik dan jahat wajib diketahui
melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat,
adalah pula wajib”.
Lalu bagaimana posisi wahyu?
Fungsi wahyu bagi
manusia secara umum sebagai pemberi, informasi dan konfirmasi, “memperkuat apa
yang telah diketahui akal manusia dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui
akal, dan dengan demikian menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh
akal.”
Dan bagi Mutazilah, wahyu dianggap lebih berperan banyak dalam memberikan fungsi “konfirmatif
ketimbang informatif”.
Yang diberikan oleh wahyu itu adalah:
(1) Memberikan
penjelasan mengenai detail-detail praktis dari yang telah disimpulkan oleh
akal. Misalnya, kewajiban berterima kasih pada Tuhan dapat disimpulkan oleh
akal, namun cara berterima kasih diberikan oleh wahyu.
(2) perincian
hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat
(3) menguji
manusia, siapa yang patuh siapa yang tidak patuh
(4) mengingatkan
manusia akan kelalaian dan memperpendek
jalan untuk mengetahui Tuhan
Uraian di
atas mempertegas posisi Mu`tazilahdalam perkembangan Kalam. Setelah Murji`ah
menggagas bahwa iman terkait dengan tashdiq
dalam arti “pengetahuan”, Mu`tazilah menegaskan kelanjutannya. Yaitu,
karena iman adalah tasdiq, dan tasdiq adalah pengetahuan maka akal menjadi
piranti utama untuk mengetahui Tuhan dan hal ihwal menganai hubungan manusia
dan Tuhan. Sementara wahyu,menurut Harun Nasution, hanyalah pelengkap atau konfirmatif saja.
Mengenai hal ini, Fazlur Rahman berbeda pendapat dengan Harun Nasution, dengan
mengutip George Hourani, Rahman
berpendapat bahwa akal tanpa bantuan wahyu sanggup menghasilkan etika primer,
yaitu baik-buruk, wajib dan tidak wajib; sementara wahyu menghasilkan etika
sekunder (yaitu bagaimana praktek dari kesadaran wajib/tidak wajib,
baik/buruk). Akal semata tidak dapat menentukan tindakan-tindakan yang harus
dilakukan atau dihindari agar lebih mendekati pada pencarian kehidupan etis
yang benar; karena itu wahyu diperlukan sebagai rujukan.
Akal dalam
pemikiran Mu’tazilah begitu dominan, bahkan wahyu hanyalah pelengkap dan
pemberi informasi etika sekunder. Pemikiran ini menyiratkan pendirian
Mu`tazilah mengenai tindakan manusia, melalui akal tindakan manusia menjadi
mandiri tidak tergantung pada kehendak Tuhan. Maksudnya, bila akal sanggup
mengetahui apa wajib dia lakukan tentulah tindakannya itu disebabkan oleh
kesadaran dirinya sendiri, bukan digerakkan oleh Tuhan.
Jika dikaitkan dengan Rukun Iman Mutazilah [yang terdiri
dari 1) Tauhid, 2) al-Waid-wal Wa’id; 3) Keadilan Ilahi, 4) Manzilah Bayn
al-Manzilatayn, 5) Amar Ma’ruf Nahy Munkar], kita akan menemukan relasi logis
teori iman dengan kebebasan manusia. Tuhan telah memberikan seruntut
janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id)
secara adil, melalui akal yang ada dalam diri manusia, orang beriman dapat
menentukan sendiri jenis tindakannya. Akal menelusuri diri dan kehidupannya
untuk menemukan tindakan yang tepat terhadap apa yang diimaninya. Melalui akal
spekulatif manusia dapat menemukan obyek pengetahuan (Tuhan, dan kewajiban
terhadap-Nya), dengan pengetahuan itu manusia tergerak untuk melakukan tindakan
berdasarkan kehendaknya sendiri. Ketentuan surga dan neraka ditentukan secara
adil berdasar kesesuaian antara tindakan dengan ketentuan Tuhan (al-wa’d wa al-wa’id). Jika seseorang
berbuat dosa besar, sedang dalam hatinya masih ada iman, ia tak akan dimasukkan
ke neraka; keadilan Tuhan akan memasykkannya ke dalam manzilat bayn al-manzilatayn.
Bila Tuhan memasukkannya ke Neraka, itu berarti Tuhan tidak adil dan
mengingkari ketentuannya (bahwa hanya yang tidak beriman saja yang akan
dimasukkan ke neraka). Dan agar Tuhan benar-benar Adil, Tuhan tidak akan turut
campur dalam tindakan manusia, Dia akan memberi kebebasan berkehendak pada
manusia.
Lebih lengkap mengenai
Keadilan Tuhan, mari kita teruskan pada konsep Keadilan dan Penciptaan Iman.
Konsep Keadilan dan Penciptaan Iman
Dari pendapat utama yang
dijunjung tinggi oleh Mu’tazilah pantas memperoleh perhatian dalam hubungannya
dengan pengaruh mereka terhadap konsep Iman.
Yang pertama adalah pendapat Mu’tazilah yang khas mengenai ‘keadilan’ ‘adl Ilahi; yang kedua mengenai
“al-Quran merupakan makhluk”.
Tentang Keadilan,
Qadi Abdul Jabbar menulis:
Kemudian kalau ditanyakan: Terangkanlah
kepadaku tentang keadilan [al-’adl] (Tuhan), apa maksudnya?
Katakan
kepadanya: ini adalah pengetahuan tentang Tuhan yang dipalingkan dari
segala sesuatu yang secara moral adalah salah dan bahwa semua perbuatannya
secara moral adalah baik. Ini diterangkan oleh kenyataan bahwa semua manusia
melakukan ketidak-adilan dan pelanggaran (jawr) dan hal seperti itu bukanlah
ciptaan-Nya. Siapa saja yang mensifatkan ini kepada-Nya, (berarti) telah
menganggap ketidakadilan dan kebiadaban berasal dari-Nya, dan demikian itu
menyimpang dari doktrin keadilan.
[a]
Anda tahu bahwa Tuhan tidak membebankan keimanan kepada orang kafir tanpa
memberinya kekuatan untuk beriman, dan Tuhan juga tidak membebankan kepada
manusia apa yang mereka tidak sanggup untuk melakukannya, tapi Dia hanya
memberi orang kafir pilihan untuk menjadi kafir dari pihaknya dirinya sendiri,
bukan dari pihak Tuhan.
[b]
Dan anda tahu bahwa Tuhan tidak menghendaki, berhasrat, atau menginginkan
pengingkaran. Malahan dia membenci dan menghinakan pengingkaran, dan hanya
menghendaki kepatuhan yang Dia inginkan, Dia pilih, dan Dia cintai.
[c]
Dan anda tahu bahwa Dia tidak menghukum anak-anak musyrik di dalam neraka
karena dosa ayah mereka, karena Dia berfirman: “dan tidaklah seorang melakukan dosa melainkan resikonya kembali kepada
dirinya sendiri” (Q.6: 164), dan Dia tidak akan menghukum seseorang karena
dosa orang lain, karena demikian itu akan salah secara moral, dan Tuhan terjauh
dan semua itu.
[d]
Dan anda Tahu bahwa dia tidak pernah melanggar aturannya (hukum) dan (....)
bahwa Dia hanya menjadikan sakit dan penderitaan untuk mengembalikan mereka
kepada keberuntungan. Siapa saja yang mengatakan sebaliknya serta telah
membenarkan bahwa Tuhan tidak adil dan telah menghubungkan kehinaan kepada-Nya.
[e]
Dan anda tahu bahwa demi mereka, Dia telah melakukan yang terbaik untuk
semua makhluknya, yaitu terhadap siapa yang ia bebankan kewajiban [moral dan
agama] dan bahwa Dia telah memberi tahu kepada mereka apa yang telah Dia
bebankan kepada mereka, dan telah menjelaskan jalan kebenaran-Nya, sehingga
kita bisa mengikutinya, dan Dia juga telah menjelaskan jalan yang sesat (tariq al-batil) sehingga kita bisa
menghindarinya. Jadi siapa pun yang berbuat binasa, maka itu setelah (semuanya
diberikan) penjelasan.
[f]
Dan anda tahu bahwa semua nikmat yang kita dapatkan berasal dari Tuhan, seperti
yang telah Dia firmankan;” apa saja
ni’mat yang ada pada kamu, maka itu semua berasal dari Allah” (Q.16:53),
(apakah) nikmat itu datang kepada kita (langsung) dari-Nya atau dari yang lain.
[g]
Jadi bilamana anda mengetahui (semua) ini, maka anda bisa mengetahui keadilan
(Tuhan).
Selintas
pernyataannya tampak tidak membahayakan, karena hanya merupakan penegasan
empatik tentang kesempurnaan keadilan Tuhan, yaitu keberadaan-Nya yang mutlak
bebas dan segala ketidakadilan. Dalam kenyataannya, konsep ini memunculkan
permasalahan yang serius, karena bagaimanapun, pada sisi yang berlawanan konsep
ini menunjukkan tanggung jawab manusia, yang dengan demikian, juga kebebasan
manusia. Yang kemudian dipahami, pernyataan ini merusak kedaulatan serta
kemahakuasaan Tuhan sampai pada tingkatan tertentu.
Pada mulanya, pernyataan
tentang keadilan Ilahi diajukan dengan maksud untuk memindahkan beban tanggung
jawab perbuatan buruk manusia dan Tuhan kepada manusia. Tetapi pernyataan ini
kemudian memunculkan pandangan yang bersifat bid’ah, “apapun yang dilakukan manusia, maka dia melakukannya
dengan kekuatan serta tanggung jawabnya sendiri, dan secara singkat, manusia
adalah ‘pencipta’ dari perbuatannya sendiri". Suatu persoalan yang
kemudian diperdebatkan oleh Asyari dan Maturidi.
Pandangan Muazilah ini
bisa jadi merupakan antitesis dari pandangan Jahmiyah, yang menegaskan bahwa
tidak ada tindakan atau perbuatan manusia yang ditentukan oleh manusia itu
sendiri, tindakan itu dikaitkan dengan manusia hanya secara metaforik, dan
dalam kenyataannya manusia tidak melakukan
perbuatan apa pun; dia hanyalah tempat di mana Tuhan menyebabkan sesuatu
terjadi.
Permasalahan kedua dari
teori Mu`tazilahadalah mengenai ‘penciptaan Qur’an’, suatu permasalahan yang
menimbulkan skandal besar di kalangan masyarakat muslim pada masa awal
Abbasiyyah. Secara teoretik, permasalahan ini sebagian muncul dari teori
tentang sifat-sifat Tuhan. Mu’tazilah menyangkal keberadaan sifat eksternal
Tuhan, karena menurut pandangan mereka jika menerima prinsip itu maka harus
menerima keberadaan sejumlah kesatuan yang abadi di samping Tuhan. Karena
firman (kalam) merupakan sifat Tuhan
yang utama, dan karena bagaimanapun Qur’an adalah firman Tuhan, maka Mu’tazilah
memandang tepat untuk menyangkal keberadaan eksternal Qur’an. Dan untuk
selanjutnya mereka menegaskan bahwa Qur’an, seperti halnya semua benda lainnya,
merupakan sesuatu yang diciptakan. “sesuatu selain Tuhan adalah baharu, maka
mengakibatkan keniscayaan bahwa Qur’an dan ucapan Tuhan yang lainnya adalah
selain Tuhan” karena itu al-Quran secara
pasti diciptakan, tidak kekal.
Kedua soal besar ini (Keadilan dan Kebaharuan al-Quran)
menghasilkan tema kalam mengenai 1) kebebasan manusia untuk melakukan tindakan
apapun, dan 2) “apapun selain Tuhan adalah baru, diciptakan”. Iman, tentu saja
hal selain Tuhan, karenanya bersifat
baharu dan diciptakan. Pertanyaannya, siapa yang menciptakan iman, Manusia atau
Tuhan? Dengan prinsip kebebasan manusia, Mu`tazilah sepakat bahwa iman atau
kafir diciptakan oleh diri manusia, bukan pemberian dari Tuhan.
Bagi pemikir Mutazilah, merupakan suatu
kesalahan jika dikatakan bahwa Tuhan yang menciptakan orang kafir, karena kufr mereka tidak mungkin diciptakan
oleh Tuhan. “Tidak dapat dibayangkan bahwa Tuhan yang mutlak benar membuat
seseorang menjadi kafir dengan cara menciptakan kufr di dalam hati orang itu. Tidak dapat dibayangkan juga bahwa
Tuhan yang mutlak adil menciptakan orang kafir dan kemudian menghukum
makhluk-Nya itu di dalam Neraka karena telah kafir. Tidak dapat dibayangkan
bahwa Tuhan berkeinginan atau berharap untuk menciptakan dosa yang besar yaitu kufr.”
Sementara Qadi Abd
al-Jabbar pada kutipan di atas menegaskan bahwa menjadikan iman dan kafir
sebagai ciptaan Tuhan atau pemberian Tuhan pada manusia akan menggugurkan
keadilan Tuhan. Konsekuensi dari iman/kafir sebagai ciptaan Tuhan adalah bahwa
Tuhan tidak dapat memberikan hukuman pada perbuatan kafir, padahal Tuhan telah
menegaskan akan adanya pembalasan setimpal pada perbuatan iman dan kafir. Lebih
lanjut Qadi Abdul Jabbar menegaskan bahwa pada masing-masing diri manusia telah
diberikan kekuatan untuk beriman atau kafir,
dengan demikian kekafiran dan keimanan merupakan ciptaan atau pilihan
masing-masing pribadi:
“(Hal ini) sama dengan kalau kita memberi
seseorang pisau untuk digunakan bagi keuntungan mereka sendiri, tapi dia
membunuh dirinya sendiri dengan pisau tersebut. Orang yang memberinya pisau
telah berbuat baik kepadanya, tapi dia merugikan dirinya sendiri dengan
menggunakan pisau untuk sesuatu yang menyebabkan bahaya, bukan untuk sesuatu
yang menguntungkan dirinya sendiri. Demikian juga Tuhan memberi orang kafir
kekuatan tapi kemudian menggunakannya untuk menghancurkan dirinya, dan tidak
menggunakannya untuk [mendapatkan] keimanan, jadi inilah orang yang
menghancurkan dan melakukan kejahatan pada dirinya sendiri. Itu mengindikasikan
bahwa Tuhan tidak membebankan kepada manusia apa yang mereka tidak punya
kekuatan untuk melakukannya, adalah sebuah kemustahilan untuk menyuruh
seseorang yang tidak punya kekayaan untuk membayar sedekah karena zakat
tidaklah mungkin tanpa ada harta. Begitu juga, Dia tidak akan menyuruh hambanya
untuk beriman kalau dia tidak punya kekuatan untuk itu, karena keimanan tidak
mungkin tanpa ada kekuatan untuk melakukannya. Dan sesuatu yang mengindikasikan
bahwa kekuatan mendahului perbuatan adalah bahwa sebuah instrumen, seperti tangan
atau kaki, yang dengan itu perbuatan terjadi harus ada sebelumnya. Jadi, begitu
juga kekuatan (harus ada sebelum tindakan).”
Lebih Jauh Mengenai Penciptaan Kafir
Iman dan Kafir
diciptakan oleh diri manusia, merupakan jawaban atas keyakinan kaum Jabariyah
yang menyatakan bahwa apapun yang dialami manusia dikehendaki oleh Tuhan.
Mu`tazilah berpendapat sebaliknya. Semua tindak iman merupakan tanggung jawab
manusia, demikianpun dengan kekafiran. Karena. Jika Tuhan adalah Pencipta kufr, maka tanggung jawab akan
keberadaan dosa terbesar ini (dan untuk masalah ini, keberadaan semua dosa) di
dunia akan berada di tangan Tuhan dan bukan di tangan manusia. Atas dasar
inipula dapat dikatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai hak untuk menghukum orang
kafir karena kekafirannya. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa keimanan dan
kekafiran tidaklah diciptakan oleh Tuhan.
Pada
bagian ini, pembahasannya akan berkisar pada ayat Qur’an (V, 60) yang berbunyi:
‘Apakah akan Aku beritakan kepadamu
tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya di sisi Ilahi?, (yaitu kasus) orang-orang yang dikutuki dan
dimurkai Tuhan, di antara mereka ada yang dijadikan kera dan babi, dan
orang-orang yang menyembah berhala’. Kontra-Mu’tazilah menggunakan ayat ini
sebagai salah satu teks-pembuktian yang menyatakan bahwa Tuhanlah yang
menciptakan kufr, dan membuat
seseorang menjadi kafir. Pada ayat itu terlihat bahwa Allah mengutuk dan
memurkai seseorang sehingga menjadi kera atau babi, dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kejadian dan tindakan manusia ditentukan oleh Allah –bukan
oleh dirinya sendiri seperti diyakini faham Mu`tazilah. Kemudian Syarif
Murtada, sebagai pemikir Mu`tazilah menulis:
“Bagaimana mungkin menafsirkan ayat ini
dalam pengertian bahwa Allah memberi tahu kita bahwa Dia telah menjadikannya
kafir dan menciptakan kufr mereka? Firman
Tuhan di sini isinya merupakan celaan atas mereka, suatu keluhan berat kepada
mereka karena kufr mereka, serta
merupakan suatu ekspresi hinaan atas mereka. Tuhan mencela mereka, dan tidak
ada tempat bagi konsepsi bahwa Dia adalah pencipta kufr mereka. Celaan Tuhan sama sekali tidak ada hubungannya dengan
penciptaan obyek celaan oleh-Nya.
Di
samping itu, orang kafir menjadi benar-benar tidak bersalah dan dapat dimaafkan
oleh Tuhan jika adalah Tuhan pencipta kekafiran mereka. Dan kata-kata itu akan
menjadi pertentangan dan omong kosong belaka....
Hal
terbaik yang dapat dimengerti dari ayat ini adalah informasi bahwa Dia telah
menciptakan dan menjadikan manusia menjadi penyembah berhala dan bahwa Dia
telah membuat beberapa di antara mereka sebagai babi dan kera.
Tentu
saja tidak ada keraguan bahwa Tuhan telah menciptakan orang-orang kafir karena
tidak ada Pencipta selain Tuhan. Meskipun demikian, tidak perlu bahwa Dia telah
menciptakan kufr pada manusia dan
menjadikan manusia itu sebagai seorang kafir.
Makna dari dua kalimat
terakhir ini adalah bahwa Tuhan merupakan Pencipta manusia itu, yang secara potensial dapat saja menjadi kafir, yaitu orang
yang akan menjadi kafir. Ini berarti,
bagi Mutazilah, Tuhan tidak pernah menciptakan kufr (secara aktual) di dalam diri seseorang. Tuhan menciptakan
manusia, tetapi apakah manusia akan menjadi kafir atau tidak, itu menjadi
urusan manusia dan bukan urusan
Tuhan.
Cara seorang yang kafir
menjadi kafir bukan perbuatan Tuhan. Ya... kita mempunyai suatu pembuktian yang
jelas bahwa Dia terlalu mulia untuk membuat dan menciptakan hal semacam itu.
Keduanya (yaitu, penciptaan seorang manusia untuk menjadi seorang yang kafir di
satu pihak, dan penciptaan cara di mana manusia dapat menjadi kafir di lain
pihak) merupakan masalah yang sama sekali berbeda.
Dalam
buku yang sama, Syarif al-Murtada
membahas permasalahan penciptaan kufr oleh
Ilahi dari sudut yang sedikit berbeda. Kali ini, teks pembuktiannya adalah
ayat Qur’an (3: 8): “Ya tuhan kami,
janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri
petunjuk kepada kami (ke arah yang
benar)”. Ayat ini tampaknya memberikan landasan yang sangat baik bagi kelompok
kontra-Mu’tazilah untuk menegaskan bahwa baik iman maupun kufr merupakan ciptaan Tuhan. Pada teks itu terbaca
kelas bahwa ada permintaan kepada Tuhan agar tidak mencondongkan hatinya dari iman. Secara tidak langsung doa ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa
ada kemungkinan bagi Tuhan untuk membuat hati manusia condong dari iman dan menjadi kafir.
Menanggapi pendapat ini, Syarif al-Murtada
menjawab dengan cara sebagai berikut: “ayat ini tidak menyatakan bahwa Tuhan
secara langsung menciptakan kufr dalam
hati mereka; ayat ini mengatakan bahwa dimungkinkan bagi Tuhan untuk membuat
situasi semacam itu yang akan menyebabkan kufr
pada mereka”. Dengan kata lain, bahkan dalam situasi semacam itu,
manusia selalu bebas untuk tidak memilih jalan yang salah. Jika dia memilih kufr karena adanya tekanan suatu
kondisi, maka hal itu merupakan tanggungjawabnya sendiri. Atas dasar pengertian
ini Murtada mengusulkan sejumlah penafsiran yang mungkin mengenai ayat yang
dikutip di atas.
Ayat
ini dapat diuraikan sebagai: ‘Ya Tuhan
kami! Sesudah Engkau beri “petunjuk” kepada kami, janganlah Engkau jadikan hati
kami condong kepada kesesatan.’
Ketika
kita akan menjalani hukuman berat yang tidak dapat ditahan lagi, maka hati kita
dapat kehilangan kepercayaan karena tekanan situasi. Untuk mendeskripsikan
kasus semacam itu, maka (secara gramatikal) sangatlah dapat diterima jika kita
menjadikan Tuhan sebagai subyek tindakan (seperti yang dilakukan oleh ayat
Qur’an itu) serta menghubungkan kecondongan hati ke arah kesesatan, dengan
Tuhan.
Sekarang,
jika kita diminta untuk menerangkan mengenai yang kita maksud sebagai perbuatan
Tuhan yang menjadikan hati kita mengalami hukuman berat yang tidak tertahankan,
maka kita akan menjawab: hal itu terjadi karena Tuhan membuat keinginan kira
menjadi sangat kuat untuk segala hal yang dinilai oleh akal kita sebagai
sesuatu yang buruk dan jahat, serta Tuhan memperkuat kecenderungan kita untuk
mengelakkan kewajiban kita. (Dalam hal ini, perbuatan kufr itu tidak harus dipahami sebagai perbuatan buruk dan jahat
oleh Tuhan, karena Dia yang membuat hal itu) kewajiban moral yang ditimpakan
kepada kita dibuat lebih sulit untuk dilaksanakan, tetapi balasan yang akan
diterima lebih besar (jika melakukan kewajiban itu).
Cara
kedua yang memungkinkan untuk penafsiran adalah dengan menempatkan ayat itu
sebagai doa yang sungguh-sungguh kepada Tuhan yang dilakukan oleh kaum muslim
sehingga Tuhan akan memperkuat hati mereka serta tetap memperoleh
‘petunjuk’, serta memperkuat mereka dengan Kasih-Nya, yang tanpa kasih itu
mereka tidak akan dapat mempertahankan iman
mereka selama-lamanya. (Penafsiran ini didasarkan pada pemikiran Qur’anik
di mana jiwa manusia secara alami bersifat lemah dan mudah berbuat salah).
Dengan demikian, ayat ini dapat diuraikan sebagai. ‘Ya Tuhan kami, jangan
biarkan hati kami tanpa Engkau perkuat dengan Kasih-Mu, karena tanpa itu kami
akan jauh dari jalan yang benar serta tersesat.’
Permasalahan ini kemudian
menjadi serius ketika dimunculkan pertanyaan: Apakah Tuhan menginginkan dan
menghendaki kufr? Pertanyaan ini
terkait dengan pernyataan tak terbantahkan bahwa tak ada pencipta atas
sesuatupun di dunia ini kecuali Tuhan, maka kafir pun pastilah merupakan
ciptaan Tuhan. Nah, jika Tuhan menciptakan kafir tidaklah mungkin bagi siapa
saja untuk menciptakan apa pun juga tanpa keinginan serta kehendak untuk
melakukan hal itu. Syarif al-Murtada menyatakan bahwa “tentu saja tidak ada
keraguan bahwa Tuhan telah menciptakan orang-orang kafir karena tidak ada
Pencipta selain Tuhan”. Namun apakah ini berarti Tuhan juga menginginkan serta
menghendaki itu? Jika mengatakan Ya pada pernyataan ini, maka akan ada
kesimpulan bahwa bahwa Tuhan menyukai kufr
dan menyetujuinya.
Ya, apakah kekafiran
diharapkan oleh Tuhan? Ibn Hazm
mencoba merumuskan jawaban atas pertanyaan ini dengan pertama kali merumuskan
ulang pandangan kaum Mutazilah:
Ketika
seseorang menjadi kafir, atau ketika seseorang melakukan dosa besar dan menjadi
fasiq, atau ketika seseorang mencela
Tuhan dan membunuh Nabi, maka ini semua tidak ada hubungannya dengan keinginan
dan harapan Tuhan.
Tuhan
tidak pernah menginginkan (sya’a) hal
seperti itu. Hal ini dibuktikan oleh ayat Qur’an: ‘Tuhan tidak
meridlai kufr bagi hamba-Nya’ (QS.
39, 7) Secara umum, barang siapa (melakukan perbuatan) yang dikehendaki oleh
Tuhan untuk dikerjakan, maka dia merupakan orang yang
pantas memperoleh pahala karena perbuatan baik yang dilakukannya.
Oleh karena itu, jika Tuhan berkehendak bahwa seseorang
menjadi kafir atau bahwa diri melakukan dosa besar, dan
jika benar manusia ini melakukan perbuatan itu, maka dia melakukan perbuatan
yang dikehendaki oleh Tuhan untuk dilaksanakan. Dengan kata lain, dia telah
melakukan hal yang baik dan dengan demikian pantas memperoleh pahala Ilahi.
(Tetapi ini tidak mungkin).
Menanggapi pandangan
Mu’tazilah ini, Ibn Hazm berpendapat bahwa menurut pandangan yang diyakini para
pengikut Sunnah, kata kehendak dikaitkan dengan dua kata dalam bahasa Arab iradah dan masyi`ah.
Iradah berarti berkehendak dan masyi’ah berarti ‘berharap’. Keduanya
bersifat kurang tegas dan digunakan dalam dua makna yang berbeda menurut
konteks yang aktual. Salah satu dari makna itu adalah ‘kepuasan’ atau
‘kesenangan’ (ridla), serta ‘persetujuan’ (istihsan, yang secara harfiah berarti:
‘menilai sesuatu baik’). Dalam pengertian yang pertama ini (ridla), Tuhan tidak mungkin senang
melihat manusia melalukan tindakan yang dilarang-Nya. Makna yang kedua (istihsan) adalah menginginkan dan
menghendaki keberadaan sesuatu, apa pun sesuatu itu. Dalam pengertian yang
kedua ini, kata-kata itu dapat digunakan dengan merujuk Tuhan dalam kaitannya
dengan setiap kehidupan di dunia ini, baik atau buruk.
Kita hanya berhak
mengatakan dalam pengertian yang kedua (istihsan)
di mana Tuhan mengharapkan, menginginkan atau menghendaki sesuatu hal,
meskipun hal yang diinginkannya adalah hal yang buruk seperti kufr. Menurut Ibn Hazm, Mu’tazilah tidak
konsisten dalam menafsirkan dua makna kata ini, kadang-kadang menggunakan
kata-kata ini dalam pengertian yang satu dan kadang-kadang dalam pengertian
lain. Kemudian, Ibn Hazm menyimpulkan, bahwa jelas dalam permasalahan ini
mereka menggunakan metode sofistik dalam argumentasi mereka.
“Pandangan yang benar
dari pengikut Sunnah adalah sebagai berikut: barang siapa yang melakukan
sesuatu yang dikehendaki (arada) serta
yang diinginkan (sha’a) Tuhan maka dia tidak dapat dikatakan
orang yang mengerjakan sesuatu yang baik serta pantas menerima pahala. Orang
yang berbuat baik adalah seseorang yang melakukan apa yang diperintahkan Tuhan
kepadanya dan dengan melakukan hal itu Dia menjadi ridla.
Dengan kata lain, kufr merupakan obyek kehendak dan
keinginan Tuhan dalam pengertian kata yang kedua (istihsan, persetujuan), dan bukan dalam pengertian yang pertama
(ridla, menyenangi atau menghendaki). Oleh karena itu, barang siapa melakukan
perbuatan itu sama sekali tidak pantas memperoleh pahala Ilahi. Jadi
keberadaan kekafiran disetujui, namun tidak diridlai. Namun pertanyaannya
adalah, kenapa hal yang tidak disetujui ini tidak dicegah dan dihilangkan oleh
Tuhan? Ibn Hazm menyatakan:
Kita perlu mengetahui
bahwa barang siapa mampu mencegah sesuatu, namun tidak melakukannya; maka orang
itu menghendakinya. Jika tidak mengharapkannya maka dia akan berusaha
mengubahnya serta mencegah perbuatan itu tanpa melakukannya sedikit pun.
Tak ada jawaban yang
tepat untuk soal ini. Oleh karena itu, Ibn Hazm kembali pada pernyataannya yang
mendasar serta sangat disukainya, yaitu bahwa kita tidak boleh mengukur hal
yang baik dan buruk yang dilakukan oleh Tuhan dengan standar yang hanya valid
bagi manusia. Tuhan bebas mutlak. Apa pun yang dilakukanNya, bagaimanapun yang
diputuskan-Nya, Dia adil dan bijaksana. Hanya jika obyek kehendak Tuhan
diwujudkan dalam dunia realitas manusia dan dilihat dari sudut pandang manusia,
maka beberapa perbuatan Tuhan itu menjadi baik dan beberapa yang lain menjadi
buruk